Sabtu, 15 Oktober 2016

Penasaran = Kelemahan

Media sosial di minggu-minggu ini santer dengan pemberitaan soal Dimas Kanjeng, perang antar netizen terkait video Ahok dalam konstelasi pemilu DKI beberapa bulan lagi, dan kabar tentang Jokowi yang "mengalahkan" Lionel Messi.  Seharian buka akun di beberapa aplikasi, isinya itu-itu saja. Saya kok jadi emosi sendiri ya? apakah saya sudah jadi korban abad milenial ini? yang tiap hari dicekoki informasi sampah. Saat saya nonton televisi juga sama aja. Hadeh..
Oke, jangan buka fb, line, YouTube, BBm (eh yang ini udah saya uninstall), buka blog aja. Hhe..

Perhatian kita saat ini mudah sekali digiring. Ada topik baru muncul, semua media mainstream ikut ngangkat jadi headline. Tak mau ketinggalan media dot com dan akun sosial media receh juga ikutan mbahas. Saya kira motifnya sama, mencari klik sebanyak-banyaknya! padahal topiknya sama, tapi judulnya nggak karuan saling adu heboh. Masalah isi tulisan itu mah urusan terakhir, yang penting klik & sharenya banyak. Lucu juga kalau saya ingat kemarin, pas munculnya nama Awkarin, saya akhirnya juga ngepoin instagramnya, sampai kasus-kasusnya itu mau tidak mau-secara tidak sadar mata dan pikiran saya membaca kisahnya. Lah gimana lagi setiap hari timeline isinya berita Awkarin, Yang pasti saya masih belum lihat video VLOGnya yang lagi nangis itu. Ya, saya berusaha membunuh rasa penasaran saya itu.

Harus saya akui, era globalisasi 3.0 agaknya telah menyerang sistem kesadaran kita. Sebab rasa penasaran (keingintahuan) itu telah menjadi titik kelemahan kita saat ini (generasi Z). Batasan tentang apa yang penting dan tidak penting yang harusnya kita kelola menjadi kabur karena pada era ini, apa yang viral dianggap penting. Atau mungkin "menjadi penting" walaupun sebenarnya kita tidak membutuhkannya.

Jadi, haruskah kita selalu tau yang sedang viral diperbincangkan orang?
kalau menurut sampeyan gimana?





Senin, 03 Oktober 2016

Tuli

Lama tak menulis lagi disini. Ada apa? Ya, ada banyak hal yang telah saya lalui yang mungkin lebih baik ditulis atau bahkan jauh lebih baik dibiarkan berlalu saja. Saya hanya sedang ingin mengendalikan diri saya sendiri, kembali membutuhkan ruang untuk mengoreksi diri secara pribadi. Seperti ketika melukis, telinga saya ingin menjadi tuli dari segala suara kecuali suara hanya yang ia ingin dengar.


Sampeyan apa kabar? Lama tak bersua kita ya, hhe.. semoga dalam keadaan sehat selalu.