Sabtu, 13 Agustus 2016

Garis

"When there's nothing to do, you do nothing slowly and intently. " ~Haruki Murakami

Suatu saat, saya pikir ada hal yang nggak bisa saya pahami tentang rangkaian kejadian dalam perjalanan singkat di garis hidup saya. Kadang garisnya memutus, memutar, memanjang terkadang. Ada yang menebal, energi saya terkuras banyak saat itu, lalu garis yang saya lewati juga memudar sebelum berhenti.

Saya tidak paham seperti apa polanya. Sampai suatu ketika sesekali menarik pandangan yang lebih jauh, saya tau garis-garis tadi. Yang mungkin saya kira awalnya tak berpola, ternyata membentuk suatu lukisan yang menurut indra saya Indah & cantik(sebuah ungkapan yang terlalu feminin utk sebuah ketidakberaturan). Dalam hidup, seringkali kita dipusingkan mengenai apa makna semua ini? Tapi, bagi saya kadang pertanyaan seperti itu bisa jadi sebuah pertanyaan jebakan. Mungkin disana memang tak ada jawabannya. Mungkin itu juga yang membuat orang jaman dulu tak bisa tidur nyenyak karena pertanyaan itu.
Jalan saja, lakukan peranmu sekeren, sekreatif, sebahagia yang kamu bisa. Rangkaian polanya saya yakin hanya bisa kita lihat kalau kita adalah mereka yang tidak berhenti pada prosesnya. Proses yang terus-menerus, belajar dari garis masa lalu, selalu waspada di garis yang sekarang dan membuat garis yang lebih baik yang bisa kita imajinasikan dan goreskan.

Mengenai keindahan hasil akhirnya, tak usah dipikirkan. Sudah ada Yang Maha Indah yang mengurusnya. Kita seringkali mungkin lupa, bukankah kita adalah sebuah karya ciptaan terindah yang sudah digariskanNya?

Rabu, 10 Agustus 2016

Obrolan Pak Menteri dengan Adik Saya

Beberapa hari lalu wacana pemberlakuan full day school atau istilah yang dipake nyebut sekolah seharian mendapat perhatian publik di media dan sempat jadi viral. Wacana yang dilontarkan Menteri Pendidikan & kebudayaan, Muhadjir Effendy selang beberapa hari setelah dia baru dilantik itu akhirnya dicabut. Mungkin karena wacana itu menimbulkan polemik di masyarakat.

Masalah pendidikan di Indonesia memang kompleksitasnya sudah tinggi. Jadi ya nggak bisa mengurai benang kusutnya main gebrak sana gebrak sini. Hm, walaupun saya bukan ahli pendidikan, bukan pula pejabat yang berkecimpung di dunia pendidikan, bolehlah saya kiranya menyampaikan komentar, pandangan saya di blog saya ini. Hhe..

Saya cukup mengapresiasi langkah yang diambil Pak Muhadjir, (mantan) rektor Universitas Muhammadiyah terlama itu. Sebab setelah beliau dilantik, beliau memilih langsung tancap gas. Jebrett...misal diparodikan dalam dialog imajiner antara pak menteri dan adik saya, mungkin begini jadinya,

Pak Menteri: "Ji, (Panggilan untuk Aji) kamu kesini, bapak mau kasih tau kamu sesuatu".

Adik Saya: "Saya pak?".

Pak Menteri: “Ji, gimana misalnya kalau kita sekolah sampai sore? Kan papa & mama kamu belum pulang kerja jam segini? Kamu juga biar nggak maen terus yang enggak-nggak di luar sana”.

Adik saya: “Oh bapak nggak tau ya, papa & mama saya kan nggak kerja kantoran yang pulangnya mesti sore menjelang malam? Trus misal sekolah pulang sampek sore apa uang jajan saya bertambah pak? Belum lagi semisal saya pulang sekolah harus mengaji berarti misal semuanya sekolah sampai sore, TPQ-TPQ di seluruh Indonesia jadi bubar dong pak? Apa mau TPQnya semua dipindah ke sekolahan? Trus saya nggak bisa bantu bapak saya di rumah dong buat kasih makan ternak? Emang bapak darimana taunya kalau kebanyakan anak SMP se-usia saya di luar sekolah nggak ada kegiatan alias gabut, nggak ada aktivitas selain menunggu kedatangan orang tua pulang kerja? Mungkin bapak taunya cuma anak kota yang papa-mamanya kerja kantoran ya pak? Lagipula walaupun nggak ada kebijakan full day school saya sudah full day school kok pak, saya aktif di ekskul sepakbola. Dan terakhir pak, saya menyebut dua orang tua saya dengan sebutan bapak-ibuk bukan papa-mama”.

            Pak Menteri: .....?????????

Singkat cerita, setelah ngobrol sama adik saya, akhirnya Pak Menteri mencabut wacananya. Hhe

Saya nggak ngerti tentang teori pendidikan dan bagaimana menerjemahkan ke dalam kebijakan yang baik. Tapi secara sadar, tepat atau tidaknya kebijakan yang dibuat itu dikatakan tepat sasaran, cara yang paling gampang untuk mengujinya adalah membenturkannya dengan si objek yang terlibat langsung dengan kebijakan. Saya yakin, mayoritas yang waras juga akan berpikiran demikian.

Kalau menurut sampeyan gimana?



Selasa, 09 Agustus 2016

Kelas Selasa

Siang ini nggak tau mau nulis topik apa, trus saya tulis aja apa yang ada di pikiran sekarang. Saya memulainya dengan menulis keyword di laman pencarian Google “10 buku rekomendasi bulan Agustus”. Yap, gimana ya cari bacaan yang bagus? Saking banyaknya buku yang terbit stiap bulannya, kita sepertinya dituntut supaya lebih ekstra memilih bacaan yang bergizi.

Biasanya saya cari buku bagus berdasarkan rekomendasi media-media mainstream. Tapi kalau lagi ada waktu dan uang, saya langsung meluncur ke toko buku. Semisal buku itu sudah ada pdf-nya atau dengan format ebook gratis saya gak beli cetaknya. Kecuali kalau setelah baca pdf-nya bagus dan pengen baca lagi, saya akan beli yagn versi cetaknya. Hhe.. ada kebanggaan tersendiri ketika bisa punya buku cetak ketimbang ahanya file pdf atau ebook.

Dan siang ini yang menarik dari surfing di internet, saya menemukan #kelaSelasa. Sebuah konten twitter dengan menggunakan tagar kelaSelasa. Cukup menarik ternyata, karena disitu memuat cuitan yang berhubungan dengan bahasa, media dan jurnalisme. Banyak informasi alternatif yang jarang kita ketahui mengenai bahasa dan soal tentang yang lagi ngetrend saat ini.
Seperti misalnya, arti larat jika dikasih imbuhan me- “melarat” dapat berarti bepergian jauh. Tapi kita mungkin tau hanya “melarat” adalah diksi lain dari arti kata “miskin”
Hmm.. bahasa sekarang kian lentur sebab bahasa adalah masalah kesepakatan pemakai bahasanya. Tapi toh kita sering tidak sepakat.


Kalau menurut sampeyan gimana?

Senin, 08 Agustus 2016

Tatto

Kemarin sore saya berangkat ke surabaya, pergi ke acara ulang tahunnya STAC (Surabaya Tatto Artidst Community), kebetulan scribble mania ikut dalam eventnya itu ArtCamp. Tapi saya ndak ikut campingnya. Perjalanan Malang-Surabaya saya tempuh 4 jam naik bus, sampai sana (Taman Kenjeran) acara udah mau buyar, Macet poll.. hadoh

Disana alhamdulillah ketemu seniman” yang juga interest di sketsa. Lumayanlah nyari inspirasi dari karya-karya mereka yang dipajang di stand-stand yang sudah disediakan. Memang tujuan saya datang di acara itu buat nyari inspirasi begitu, sambil silaturrahmi sama kawan-kawan scribble mania. Bukan untuk lihat orang di-tatto-nya.. hhe

Tatto sebenarnya juga bagian dari seni rupa, mediannya saja yang menggunakan anggota tubuh. Bedanya dengan body painting, tatto itu gambarnya permanen, kalau body painting masing gampang dihapus. Saya dulu juga pernah body painting bareng temen-temen komunitas Asap knalpot. Kalau tatto saya nggak lah. Bukan karena tentang stigma orang bertatto itu identik dengan anak urakan atau sejenisnya tapi disisi karena larangan agama saya, menurut saya tatto bukan memperindah tubuh, tapi merusak tubuh. Tubuh kita sebenarnya sudah sempurna, kita hanya harus merawatnya sebaik mungkin. Biaya bikin tatto itu mahal, tapi sebenarnya lebih mahal menghapus tatto. Artinya tubuh yang bersih tanpa tatto lebih berharga dibanding tubuh bertatto.
Tapi ya terserah semisal ada orang-orang yang memilih tatto-an. Tapi sebenarnya saya juga pengen tahu apa motif mereka bikin tatto. Bentuk ekspresi dirikah, supaya terlihat sangar kah, menambah percaya diri kah..
Kalau menurut sampeyan gimana? punya tatto?

Minggu, 07 Agustus 2016

Waktu Berlari

Dua tahun ini saya harus belajar keras untuk bisa menguasai bahasa asing—bahasa inggris. Yap, ini bukan karena tuntutan jaman juga karena persaingan global, atau malah buat gaya-gayaan pakai bahasa inggris. Ada motif yang menarik bagi saya belajar bahasa inggris ini. Kalau dari belajar sedikit-sedikit tentang bahasa, ternyata konteks bahasa kita (bahasa indonesia) ini tidak terpaut dengan persepsi waktu. Berbeda dengan bahasa inggris, ada tenses-nya. Trus memang apa pengaruhnya?

Begini, saya pernah bertanya-tanya kenapa ya stigma yang muncul pada bangsa Indonesia itu (dalam konteks penghargaan terhadap waktu) dianggap sebagai bangsa pemalas? Ya ada yang berseloroh negeri kita kan kaya, tanpa harus kerja keras kita juga masih bisa makan, bedalah misal sama stigma dari bangsa Amerika yang rajin (sangat menghargai waktu). Nah.. dari segi bahasa ternyata kalau kita perhatikan juga ikut mempengaruhi pandangan kita—manusia yang terlahir sebagai bangsa Indonesia—terhadap realitas. Termasuk pandangan kita mengenai waktu.

a clock runs” (waktu berlari) orang Amerika bilang.
“waktu berjalan cepat” kita bilang.
Secepat-cepat orang berjalan kan masih lebih cepat orang berlari. Bahasa yang kita gunakan menunjukkan tentang persepsi terhadap waktu. Mungkin itu juga menyebabkan kita cenderung lebih sering suka mengulur waktu ketimbang bergegas-gegas dalam memanfaatkan waktu. “woles bro
“language is a guide to ‘social reality’”. Tulis  Edward Sapir menjelaskan hubungan antara bahasa dan proses berpikir. Bahasa adalah pandu realitas sosial, bahasa secara kuat mengkondisikan pikiran kita tentang masalah dan realitas sosial. Dia menyatakan, tidak ada dua bahasa yang cukup sama untuk dianggap mewakili kenyataan sosial yang sama. Artinya dari teori itu bisa kita tarik bahwa sebenarnya pandangan kita tentang segala aspek kehidupan ini dibentuk oleh bahasa, dan karena ada banyak macam bahasa yang berbeda, persepsi kita tentang dunia  akan berbeda juga.

Padanan kata dalam satu bahasa juga menunjukkan sesuatu yang disimbolkan melalui bahasa itu dianggap penting dalam peradabannya. Misal kita orang jawa, mengenal banyak istilah mengenai padi. Ada gabah, kepak, beras, nasi, karak, katul karena padi itu makanan pokok yang erat dengan peradaban kita, sedangkan di Inggris, hanya ada kata “rice” untuk menyebut semua bentuk padi tadi. Karena ya mereka nggak makan nasi setiap hari ya. Hhe..


Sabtu, 06 Agustus 2016

Berhemat


Pola hidup hemat menurut saya penting. Baru-baru ini saya nyadar mindset saya tentang hemat ini keliru. Hemat bukan hanya berarti kita kalau belanja jadi lebih irit. Melainkan konsep hemat sendiri adalah bagian dari manajemen kita terhadap aset hidup kita. Misalnya kesehatan, ada orang yang bekerja setengah mati seharian full dalam seminggu  selama satu bulan, penghasilannya disisihkan sebagian untuk alokasi biaya kesehatan. Di lain ruang waktu, ada orang yang bekerja full sehari selam 6 hari dalam seminggu. Yang 1 harinya ia pakai untuk berolahraga dan istirahat. Saya pikir risiko orang yang kedua ini terkena penyakit lebih kecil dibanding orang pertama yang punya alokasi biaya kesehatan. Artinya olahraga untuk kesehatan dan kebugaran diri juga masuk dalam konsep berhemat.

Contoh lain yang secara tidak sadar saya jalani itu misalnya di bidang keuangan. Saya membeli sesuatu yang sebenarnya belum saya butuhkan segera ketika mempunyai tabungan atau penghasilan lebih. Intinya saat ada uang lebih, saya tak membiarkan aset uang itu dalam bentuk uang. Ternyata itu dibenarkan dalam konsep hemat. Tapi dengan catatan barang yang kita beli itu suatu saat di masa yang akan datang menjadi kebutuhan kita yang kita harus segerakan. Contoh umum di masyarakat misalnya, para orang tua akan membeli peralatan sekolah untuk anaknya saat menjelang tahun masuk ajaran baru. Entah itu buku, tas dan sebagainya. Dan biasanya harga peralatan sekolah saat itu lebih mahal ketimbang saat belum musim tahun ajaran baru karena tarik menarik hukum supply and demand. Selisih harga barang yang dibeli saat musim tahun ajaran baru dengan yang sebelumnya itu kan juga penghematan yang bisa kita pilih. Dan kebiasaan ini juga bisa kita terapkan bidang lain.


Kalau sampeyan gimana?

Jumat, 05 Agustus 2016

Buku Digital

Abad 21 adalah buku digital bagi setiap orang. Saya temukan ungkapan itu dari film Captain Amerika. Ya bagaimana lagi, lah wong  catatan sipil mengenai siapa kita (daftar riwayat hidup) semua ada dalam catatan digital. Sampai catatan keseharian kita mungkin semuanya terekam dalam jejak digital pula—media sosial misalnya facebook, instagram, path, snapchat, blog dll. Istilah menulis pada harfiahnya telah bergeser pada kegiatan mengetik, bukan menulis—tulisan tangan.

Apakah memang sudah seharusnya semua orang harus punya buku digital yang berisi detail kehidupannya sehingga nggak ada lagi yang nggak dicatat? Saya jadi membayangkan semisal ternyata para malaikat—yang bertugas mencatat amal perbuatan kita—sebenarnya telah lebih dulu melakukan ini. Sehingga tugas mereka yang mencatat detail seluruh apa yang kita perbuat di bumi ini telah kita ambil alih. Dan malaikat itu mungkin—karena kita tidak tahu—sebenarnya mencatat dalam “buku digital” versi mereka tentang diri kita. Saya jadi ingat dulu muncul sebuah pertanyaan masa kecil saya tentang malaikat, ketika masih di lingkungan taman alquran, “malaikat itu kalau mencatat pakai tinta pena juga ga ya?” Hhe..

Bedanya, buku digital yang kita tulis sendiri adalah citra diri yang menunjukkan kita sebagai ide kita tentang diri kita ingin dilihat seperti apa. Sedangkan buku yang ditulis malaikat tadi, adalah seluruh isi sebenar-benarnya kita ketika kita hidup di dunia, berisi seluruh catatan baik dan buruk secara mendetail tentang diri kita yang sebenarnya tanpa distorsi.

Hari ini, sudahkah kita membuat catatan digital yang baik bagi diri sendiri & orang lain?



Kamis, 04 Agustus 2016

7 Perjalanan

7 tempat yang akan saya kunjungi untuk suatu perjalanan.
1.       Museum Majapahit yang ada di Mojokerto;
2.       Kota Semarang dengan sudut-sudut bangunan kunonya;
3.       Jam Gadang, di Sumatera Barat;
4.       Jembatan Ampera, Palembang;
5.       Kota Makkah;
6.       Kota Yerussalem;
7.       Utrecht, belanda.

Ya, sering-seringlah mendiskusikan apa yang kita harapkan. Manusia seringkali lebih hidup dengan karena fantasi-fantasi pribadinya. Daftar diatas saya buat untuk suatu saat di kemudian hari saya akan mencentangnya satu per satu. Percayalah, jika kita mempunyai tujuan yang jauh, perjalanan yang dekat akan terlewati. Dimanakah tujuan yang jauh itu? Dunia ini terlalu sempit dan kita sebentar saja disini. Jadi, berjalanlah. Singgahlah ke tempat-tempat yang kamu ingin adakan perjalanan.

Oh, iya. Satu per satu dari perjalanan ke tempat itu akan saya ceritakan di sini. Insya Allah.

Kalau sampeyan, adakah tempat-tempat yang ingin sampeyan kunjungi?

Rabu, 03 Agustus 2016

Karnaval

Bulan ini bakal ada peringatan sakral tahunan untuk mensyukuri alam kemerdekan. Peringatannya, mau diisi dengan apa?

Kalau waktu kecil saya dulu, di kampung saya biasa ada lomba panjat pinang, balap karung, makan krupuk dan yang paling sering saya menang adalah lomba gigitin uang koin yang menancap pada buah semangka hitam (diolesi oli). Hhe.. Saya yakin anak-anak yang lahir generasi 90an mengalaminya juga. Dari sekian lomba-lomba peringatan kemerdekaan, salah satu yang masih bertahan hingga sekarang dan makin ditunggu-tunggu adalah karnaval selain tentunya panjat pinang—lomba yang wajib ada dalam pesta rakyat 17an. Tapi ya kalo sekarang, stok pohon pinang itu masih banyak? Sepertinya sudah sulit menemukannya sejalan dengan hilangnya budaya nginang (mengulum buah pinang) orang tua kita dulu.

Karnaval beberapa tahun terakhir menjadi sorotan segala lapisan masyarakat di daerah saya dan masyarakat luas. Tepatnya Sejak dihelatnya Jember Fashion Carnival, sebuah peragaan busana terbesar yang dipertontonkan di jalanan. Tahun ini, adalah tahun ke-15 bagi JFC menjadi ajang berkarya putra-putri daerah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, JFC-15 akan diselenggarakan tanggal 24-28 agustus 2016,kali ini mengangkat tema REVIVAL.

JFC sejak kemunculannya, telah mendekontruksi budaya karnaval yang selama ini berlangsung di Indonesia. Ia tak hanya menjadi simbol pembacaan ulang mengenai budaya tinggi dan budaya populer dimana antara aktor dan penonton tak punya batas yang jelas lagi. Peragaan busana yang selama ini hanya dilangsungkan diatas catwalk, di JFC semua kalangan bisa menikmatinya dengan turun di jalanan. Juga bahwa sesuatu yang jadi trend setter tak harus berasal dari pusat—jakarta. Tampaknya Dynan Fariz telah membuktikannya dengan menggugurkan pandangan itu lewat JFC dengan segala kebanggaan tentang Jember—sebuah kota yang jauh dari pusat Jakarta tempat kampung kelahiran saya.


Pengalaman saya waktu nonton JFC dua tahun lalu, yang mengesankan adalah saya kelelahan saat menemani kawan saya hunting foto. Apa ya gak dibuat pusing, lah wong di jalanan tempat dilangsungkan JFC, orang-orang itu bak lautan manusia yang tumpah ke jalan. Jadi kalau mau nonton, mau hunting foto, disiapkan saja dulu fisik dan staminanya supaya nggak pingsan. Hhe..

Selasa, 02 Agustus 2016

Cahaya

“When do you want something, all the universe conspires to help you achieve it” –Paulo Coelho, The Alchemist

Tentang apa yang benar-benar kita ingin dapatkan, sebenarnya Tuhan Maha pemurah. Apa yang saya inginkan (butuhkan) dalam persembahan hidup, saya merasa dicukupkan. Padahal dulu sempat tidak percaya saya akan sampai pada mimpi-mimpi kecil saya ketika sebelum tidur. Tapi Tuhan sangat pemurah pada doa-doa saya. Belakangan ini hari-hari saya makin misterius. Eh bukan yang ketemu –melihat hantu atau makhluk halus gitu ya. Hhe

Misterius karena saat saya memikirkan hari demi hari saya, maka semakin banyak misteri yang berseliweran di kepala. Semacam ada sesuatu yang menunjukkan setiap pertemuan, kejadian, sikap perbuatan saya antara ruang waktu yang satu dan yang lain menyiratkan tanda adanya keterkaitan langsung. Saya jadi insaf bahwa sebenarnya saya sedang terperangkap, menjalani kehendak Yang Maha Sak karepe dewe itu. Misterius!

Beberapa minggu yang lalu saya pengen beli kamera yang bisa merekam video kualitas HD untuk tujuan hobi dan pekerjaan yang saya lakoni sekarang. Kayaknya dulu nggak sempat bayangin gimana cara dapatinnya, apakah mampu, kapan? Yah.. dulu Cuma bisa bikin sketsanya saja. Hhe..
Tapi sebetulnya, selama Dia menghendaki, apapun yang kita minta pasti dikasih dah. Alhamdulillah saya dikasih, berarti saya anggap kamera ini akan membawa kebaikan bagi saya. Siap buat melukis pake cahaya. Hhe..

Dia emang bener-bener Cahaya, tahukan sifat cahaya yang mengarah ke segala penjuru? Kalau ingin mencapai sesuatu dengan cahaya itu, kita harus sanggup memfokuskan cahaya itu menjadi satu titik agar ia bisa menjadi api yang membakar, memanaskan, menghidupi. Supaya hidup itu jadi bermakna. Tapi bagaimana caranya agar bermakna? Ah, mungkin ini pertanyaan jebakan yang bikin orang-orang jaman dulu tidak bisa tidur. Bisa jadi ini pertanyaan yang sebenarnya tak ada jawabannya.


Kalau sampeyan, Adakah barang atau sesuatu yang sampeyan pengeni yang sudah kesampe’an tahun ini? Kalau belum, mungkin Cahayanya belum fokus sepenuhnya pada satu titik.

Senin, 01 Agustus 2016

Menjalani kewajiban



Perihal kita disini adalah untuk menjalani kewajiban. Tak lebih dari itu. Bonusnya sebagai konsekwensi atas apa yang kita perbuat adalah hak kita. Sesuai apa yang diusahakan masing-masing.
Dan saya hanya berusaha sebaik mungkin menyelesaikan kewajiban saya disini. Kalau saya evaluasi sendiri, sepertinya jalan saya nggak terlalu cepat. Cepat toh juga bukan ukuran—yang ini bukan mencari alasan sebagai pembenaran. Walaupun mungkin terlalu naif kalau bicara begitu.
Sampai akhirnya hak itu datang tanpa saya minta, saya berusaha menjalani kewajiban.