Jumat, 26 September 2014

Asap Knalpot Art Community

Sekawanan anak manusia yang hanya ingin berekspresi, berkarya lewat seni. Walau apa yang mereka lakukan sering di cap sebagai polusi, mereka tak peduli.

Senin, 15 September 2014

Ritme Hari ini

Manusia yang bahagia hidupnya pasti adalah mereka yang tak bosan menjalani harinya. Bukan tidak pernah bosan, karena pasti ada saatnya kita merasakan bosan itu. Bosan oleh rutinitas yang kita jalani terus-menerus sampai mencapai titik jenuh.

Supaya tak bosan, coba lakukan hal baru setiap harinya, berkenalan dengan orang-orang baru dan lakukan dengan senang. Semoga ritme hari ini tak membosankan.

Jumat, 12 September 2014

Virtual

Hari ini mata terlalu semangat berkomunikasi dengan benda ukuran 14" yang memancarkan sinar. Mata ini sampai lupa kalau ia sudah ribuan kali mengedipkan kelopaknya.

Benda yang menyita waktu mata itu ternyata alat pengubah peradaban manusia kini, mengubah cara orang berperilaku. Mendekatkan yang jauh, sekaligus menjauhkan yang dekat. Dunia baru telah diciptakan. Dunia virtual-begitu saya menyebutnya ketimbang dunia maya- telah membuat informasi menjadi sebuah power yang punya daya di abad 21 ini. Saya adalah penduduk dunia virtualdi beberapa dimensinya. Tapi saya juga adalah makhluk penghuni dunia nyata yang akan merayakan kehidupan yang sering dibilang "nyata". Ya, kini saya dan jutaan manusia juga termasuk penghuni dua dunia. Hi hi hi..

Sebentar, saya harus pergi ke italia karena sedang mencari bentuk arsitektur bangunan italia-lewat benda yang bercahaya ini.

Kamis, 11 September 2014

Senja

Waktu yang paling saya sukai selain pagi adalah saat senja. Waktu dimana semua terlihat begitu menyenangkan. Sudah tutup dulu pintu amarahmu karena dibakar siang, hentikan dulu perdebatan yg hampir selesai itu. Maka sejenak lihatlah sekelilingmu, lihat bagaimana orang berlalu lalang hendak "pulang". Sebuah kata yang selalu saya nanti-nantikan.

Sekali-kali perhatikanlah orang-orang itu, mungkin saya mengajak anda untuk bergumam secara imajiner dengan diri sendiri. Seorang kawan pernah memaknai senja sebagai momen perenungan. Maksudnya merenungi apa-apa yang telah dilakukan sejak terjaganya mata setelah tidur. Saya juga sepakat dengan pernyataan itu. Tapi, kenapa disebut momen? Bukankah setiap hari senja juga terulang kembali.

Memang, kesan atau makna senja bagi tiap orang akan berbeda, tergantung dengan siapa kita melewati waktu sehari itu, dan apa yg kita lakukan. Toh semuanya akan menjadi bahan refleksi kehidupan walaupun hari itu tak melakukan apapun.

Transisi
Senja juga berarti masa transisi. Momen peralihan dari siang ke malam. Tidak melulu harus diartikan sebagai-sebentar lagi selesai-bisa jadi pergantian menuju ke kedamaian. Seperti sifat malam.
Jika diintepretasi ke dalam subjek, mahasiswa-status yang sedang saya sandang sekarang- rasanya pantas kalau di masa ini adalah senja. Momen yang sebentar  sebelum memasuki masyarakat yang penuh dengan ketidakpastian, bak malam yang gelap. Masa yang menyenangkan ketika harus terburu-buru dilewatkan, di buat-buat untuk cepat malam. Dengan itu kita punya cukup waktu mrenungkan, merencanakan untuk mengisi malam yang indah-untuk masa depan yang cerah.

Senjaku, adalah guratan mega penuh cinta dan pengharapan.

Rabu, 10 September 2014

Si Supri

Pernah nggak anda diminta oleh orang tua untuk membelikan sesuatu di toko, lalu anda dapat permen sebagai ganti uang kembalian? Hi hi hi.. Saya pernah mengalami hal itu
Tapi pernah terpikir nggak kalau hal semacam itu sebenarnya termasuk bibit Korupsi. Korupsi tingkat warung kelontong. Hhe

Hari ini cerita Supri di film pendek "Boncengan" yang diputar pada acara ACFFest (Anti Corruption Film Festival) di gedung Widyaloka Universitas Brawijaya siang tadi, menginspirasi saya memaknai kejujuran. Di film itu, Si Supri adalah seorang anak SD yang jujur, energik dan lugu. Mata sipit, rambut cepak, mirip anak orang Tiongkok tapi berkulit gelap. Perawakan tubuhnya paling kecil dari teman sebayanya Sayangnya saya lupa nama pembuat film itu, hhe.. Ide ceritanya keren. Ceritanya, sekolah Supri sedang mengadakan lomba lari maraton untuk memperingati hari jadi sekolah. Hadiahnya berupa sepeda BMX yang paling apik se kampung di latar film itu. Ada sekitar sepuluh anak yang mengikuti maraton termasuk Supri.

Sebut saja Siti, teman akrab Supri yang nanti jadi saingan terberatnya, sebab dia sangat terobsesi untuk mendapatkan hadiah utamanya. Saat lomba dimulai, banyak adegan kocak yang ditampilkan, mulai pemegang bendera penanda maraton yang terlambat di angkat saat peluit sudah ditiup, Supri yang dijatuhkan Siti. Jadi di awal, Supri pelari paling terakhir dalam barisan maraton itu. Suasana persaingan kental disitu. Siti memimpin maraton di barisan paling depan. Rute maraton mengelilingi kampung, lewat jalan sawah dan jalan perkampungan. Di tengah kampung, adegan pelari yang dikejar-kejar anjing sempat mengocak isi perut peserta ACFF. Hi hi..
Ada peserta yang kelelahan dan malah beli es di jalan. Teman Supri sebut saja si Gendon berbuat curang karena dibonceng ayahnya saat maraton. Ayah Gendon memang yang menyuruhnya, dan sempat membelikan es peserta yang lain. Huh.. Curang!

                                     ***

Senin, 08 September 2014

Wakil Rakyat Kok Plin-Plan?

Sembari menunggu dosen yang tak kunjung masuk kelas, lebih baik menyempatkan untuk menulis ini saja. Sudah jadi kebiasaan klasik memang kalau di hari pertama masuk sekolah atau kuliah para pengajar biasanya telat. Bukan hanya dosen, mahasiswa pun demikian. Guru kencing berdiri, murid mengencingi guru. Hi hi hi..

Terlepas dari persoalan ini, ada polemik yang lebih enak dibahas yakni RUU tentang pilkada yang sedang dibahas di kursi DPR. RUU itu berisi aturan main Pemilihan Kepala Daerah yang kembali dipilih oleh DPRD seperti sebelum Era Refomasi. Sejak tahun 2005 Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat. Sejak itu, banyak bermunculan pemimpin-pemimpin yang berprestasi membangun daerahnya. Sebut saja Tri Rismaharini yang mempercantik wajah Surabaya, Walikota Bandung sukses dengan pogram masyarakat melek IT, dan lain-lain. Pemimpin terpilih seolah gambaran kehendak rakyat. Jika Kepala Daerah dipilih anggota DPRD, pemimpin itu akan banyak berurusan dengan anggota dewan, kemudian politik transaksional yang bermain.

Lucunya,  yang setuju pemilihan oleh anggota DPRD semula cuma PKB dan Demokrat, sejak september lalu yang tergabung dalam koalisi Merah Putih antara lain Gerindra, Golkar, PAN, PKS  ikut-ikutan mendukung PKB dan Partai berlambang bintang itu yang sebelumnya mengkoar-koarkan pemilihan langsung. Kelihatan plin-plan ya.. Hi hi hi

Mereka berdalih, dengan dipilih oleh DPRD, anggaran Pilkada dapat dihemat. Saya tidak setuju dengan hal itu. Memang, Sistem Demokrasi membutuhkan biaya mahal dan itu sudah menjadi konsekuensi yang harus diterima. Pemilihan secara langsung  terlepas dari kekurangannya dapat menjadi ajang bagi para orang-orang baik yang masuk di politik untuk berkarya dan berprestasi membangun masyarakat. Sehingga orang-orang yang hanya haus akan kekuasaan dan tidak ada hasrat berprestasi tidak akan dipilih. Masyarakat Indonesia baru belajar berdemokrasi. Jika kehidupan demokrasi itu diganggu gugat oleh politisi, sudah waktunya memang kita harus kritisi.
Setuju?

Munir


Sabtu, 06 September 2014

Menolak Lupa


   

      Mereka yang memperhatikan keadilan sosial dengan serius sering merasakan, bahwa mereka berdialog dengan orang tuli." - Michael Prowse

Jumat, 05 September 2014

1000 Puzzle

Kalau hidup ini seperti merangkai 1000 kepingan puzzle, aku tidak akan terburu-buru menatanya. Aku masih harus membuat gambaran akhirnya di luar kepala.

Sudah mulai pagi tapi masih terlalu malam, kadang kita lupa cara menikmati langit yang, samar berhias bintang-bintang, dingin yang, mencairkan nafas. Jadi lupa syukur nikmat waktu.

Nietzsche


Pak Jonan


Kamis, 04 September 2014

Mata Pun Berkata

Menjadi pendengar kadang dibutuhkan pada saat-saat yang tepat ketika bicara malah memperburuk suasana.

Kemampuan menjadi pendengar yang baik jarang orang bisa melakukannya karena hasrat oral manusia lebih besar dibanding ukuran gendang telinga.

Tapi, menjadi pendengar tak lantas harus diam! Hanya sebuah cara lain agar mampu memahami diri sendiri dan orang lain.

Walaupun jarak telinga dan mulut tak terpaut jauh, lantas menurutmu mereka selalu akur?
Mata bilang "Tidak".

Rabu, 03 September 2014

Digitalisasi



         Saya baru menyadari kalau selalu bergerak ke arah dunia “apa-apa harus sendiri”. Dulu, kalau saya mau mengambil uang di Bank, saya harus pergi ke Bank, duduk antri kemudian waktu giliran saya, saya butuh bantuan teller untuk mengurusinya. Sekarang, tidak perlu seperti itu. Sudah ada mesin ATM yang kapan pun tetap berada di tempatnya saat dibutuhkan. Kapan pun saya bisa menarik uang disana.

         Baru-baru ini perusahaan apple akan meluncurkan produk keluaran terbarunya iPhone 6 yang dilengkapi dengan fitur dompet virtual, sebenarnya dompet virtual ini bukan yang pertama muncul, sebelumnya Google+ juga sudah ada. Apple kabarnya telah menggandeng visa, mastercard sebagai mitranya, dilengkapi sensor sidik jari sebagai kode pengaman pengganti password diyakini lebih aman diharapkan menambah loyalitas penggunanya. Sehingga cara orang berbelanja  semakin cepat dan serba praktis. Walaupun dompet virtual ini baru berlaku di Amerika Serikat, saya yakin kedepan perusahaan-perusahaan lainnya akan mengikuti. Kalau Nietzsche masih hidup, mungkin ia tertawa melihat para peniru itu. hi hi hi..

        Melihat fenomena seperti itu, saya tidak bisa membayangkan 50-100 tahun kedepan, dunia ini tergambar seperti di film Doraemon the movie. Jika yang mengusai teknologi-teknologi mutakhir adalah orang-orang seperti karakter nobita yang pemalas, Giant yang  suka menang sendiri, Tsuneo yang pelit  sedangkan orang-orang seperti Doraemon semakin tersisih!. Kekhawatiran saya ber-alasan kan? hhe..

Digitalisasi. Era dimana cara hidup manusia semakin mudah, sekaligus era yang akan merekontruksi budaya "kekitaan" kita."Kita" yang tak lupa kalau kita manusia.


Selasa, 02 September 2014

OSPEK

Foto: salah satu mahasiswa baru Universitas Brawijaya sedang berdiri di depan poster Fikri sesaat setelah mengikuti PKKMABA tingkat universitas (2/9).


Bulan September di kota Malang, ada tradisi tiap tahun yang melibatkan banyak manusia disini. Sebagai kota pendidikan, tidak heran setiap tahunnnya kota Malang selalu dibanjiri oleh pelajar dan mahasiswa. Dan bulan ini, para mahasiswa baru (MABA) melaksanakan Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK).
Tradisi Ospek ini punya catatan jika kita mau menoleh ke belakang. Tahun lalu, Ospek telah memakan korban. Kasus kematian Fikri-salah satu mahasiswa universitas ITN Malang-saat menjalani OSPEK mencuat dan menjadi sorotan publik saat itu. Kejadian tersebut menjadi cerminan bahwa di abad 21, tradisi perpeloncoan oleh mahasiswa senior kepada mahasiswa baru yang mengarah ke buliying masih menghiasi wajah institusi pendidikan di Indonesia.
Kita seakan tidak belajar dari tahun-tahun sebelumnya. Tiap tahun, MABA disuruh memakai atribut-atribut OSPEK yang tidak relevan dengan esensi kegiatan pengenalan kampus. Panitia penyelenggara dalam hal ini mahasiswa senior seperti menjadikan OSPEK sebagai ajang balas dendam. Kuping saya siang ini masih mendengar teriakan-teriakan menghardik MABA, seolah MABA harus takut dengan mahasiswa senior. Ini kampus woii.. Bukan pemukiman tentara!. Bukankah nilai-nilai yang diharapakan adalah nilai-nilai kesantunan, saling menghormati dan menghargai yang ada pada MABA, bukannya rasa takut!.
Ospek tahun ini tidak jauh beda dengan tahun saya dulu. Buktinya, masih berjejer orang yang berjualan peralatan dan atribut OSPEK di depan kampus saya. Walaupun itu hal positif-menambah penghasilan warga Malang yg meraup untung momen ini-  dari segi ekonomi. Kita tidak banyak belajar dari perubahan zaman. Cenderung susah untuk selalu belajar dengan hal yang baru dan meninggalkan cara lama yang usang dengan perkembangan zaman. Sehingga tidak berlebihan jika Alvin Toffler menyebutnya sebagai orang yang buta huruf di abad 21 ini. " The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn."

Senin, 01 September 2014

Sekolah-Sekolahan



Sempat saya menyimpan pertanyaan ini di benak saya, mengapa saya harus sekolah? Atau mengapa saya harus belajar di sekolahan?
Sejarah mencatat bahwa pendidikan sudah ada sejak manusia diciptakan. Kata sekolah (school) sendiri di ambil dari bahasa latin “scola” atau scolae” yang bermakna “waktu luang”.  Ternyata, di zaman romawi kuno dulu, orang-orang memanfaatkan waktu luang mereka untuk menemui orang cendekia perihal bertanya mengenai ikhwal kehidupan.

Jose Mujica