Selasa, 02 September 2014

OSPEK

Foto: salah satu mahasiswa baru Universitas Brawijaya sedang berdiri di depan poster Fikri sesaat setelah mengikuti PKKMABA tingkat universitas (2/9).


Bulan September di kota Malang, ada tradisi tiap tahun yang melibatkan banyak manusia disini. Sebagai kota pendidikan, tidak heran setiap tahunnnya kota Malang selalu dibanjiri oleh pelajar dan mahasiswa. Dan bulan ini, para mahasiswa baru (MABA) melaksanakan Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK).
Tradisi Ospek ini punya catatan jika kita mau menoleh ke belakang. Tahun lalu, Ospek telah memakan korban. Kasus kematian Fikri-salah satu mahasiswa universitas ITN Malang-saat menjalani OSPEK mencuat dan menjadi sorotan publik saat itu. Kejadian tersebut menjadi cerminan bahwa di abad 21, tradisi perpeloncoan oleh mahasiswa senior kepada mahasiswa baru yang mengarah ke buliying masih menghiasi wajah institusi pendidikan di Indonesia.
Kita seakan tidak belajar dari tahun-tahun sebelumnya. Tiap tahun, MABA disuruh memakai atribut-atribut OSPEK yang tidak relevan dengan esensi kegiatan pengenalan kampus. Panitia penyelenggara dalam hal ini mahasiswa senior seperti menjadikan OSPEK sebagai ajang balas dendam. Kuping saya siang ini masih mendengar teriakan-teriakan menghardik MABA, seolah MABA harus takut dengan mahasiswa senior. Ini kampus woii.. Bukan pemukiman tentara!. Bukankah nilai-nilai yang diharapakan adalah nilai-nilai kesantunan, saling menghormati dan menghargai yang ada pada MABA, bukannya rasa takut!.
Ospek tahun ini tidak jauh beda dengan tahun saya dulu. Buktinya, masih berjejer orang yang berjualan peralatan dan atribut OSPEK di depan kampus saya. Walaupun itu hal positif-menambah penghasilan warga Malang yg meraup untung momen ini-  dari segi ekonomi. Kita tidak banyak belajar dari perubahan zaman. Cenderung susah untuk selalu belajar dengan hal yang baru dan meninggalkan cara lama yang usang dengan perkembangan zaman. Sehingga tidak berlebihan jika Alvin Toffler menyebutnya sebagai orang yang buta huruf di abad 21 ini. " The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar