Sembari menunggu dosen yang tak kunjung masuk kelas, lebih baik menyempatkan untuk menulis ini saja. Sudah jadi kebiasaan klasik memang kalau di hari pertama masuk sekolah atau kuliah para pengajar biasanya telat. Bukan hanya dosen, mahasiswa pun demikian. Guru kencing berdiri, murid mengencingi guru. Hi hi hi..
Terlepas dari persoalan ini, ada polemik yang lebih enak dibahas yakni RUU tentang pilkada yang sedang dibahas di kursi DPR. RUU itu berisi aturan main Pemilihan Kepala Daerah yang kembali dipilih oleh DPRD seperti sebelum Era Refomasi. Sejak tahun 2005 Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat. Sejak itu, banyak bermunculan pemimpin-pemimpin yang berprestasi membangun daerahnya. Sebut saja Tri Rismaharini yang mempercantik wajah Surabaya, Walikota Bandung sukses dengan pogram masyarakat melek IT, dan lain-lain. Pemimpin terpilih seolah gambaran kehendak rakyat. Jika Kepala Daerah dipilih anggota DPRD, pemimpin itu akan banyak berurusan dengan anggota dewan, kemudian politik transaksional yang bermain.
Lucunya, yang setuju pemilihan oleh anggota DPRD semula cuma PKB dan Demokrat, sejak september lalu yang tergabung dalam koalisi Merah Putih antara lain Gerindra, Golkar, PAN, PKS ikut-ikutan mendukung PKB dan Partai berlambang bintang itu yang sebelumnya mengkoar-koarkan pemilihan langsung. Kelihatan plin-plan ya.. Hi hi hi
Mereka berdalih, dengan dipilih oleh DPRD, anggaran Pilkada dapat dihemat. Saya tidak setuju dengan hal itu. Memang, Sistem Demokrasi membutuhkan biaya mahal dan itu sudah menjadi konsekuensi yang harus diterima. Pemilihan secara langsung terlepas dari kekurangannya dapat menjadi ajang bagi para orang-orang baik yang masuk di politik untuk berkarya dan berprestasi membangun masyarakat. Sehingga orang-orang yang hanya haus akan kekuasaan dan tidak ada hasrat berprestasi tidak akan dipilih. Masyarakat Indonesia baru belajar berdemokrasi. Jika kehidupan demokrasi itu diganggu gugat oleh politisi, sudah waktunya memang kita harus kritisi.
Setuju?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar