Perjalanan itu
dilakukan malam hari, kurang dari satu
malam, sebuah perjalanan horizontal-vertikal yang kemudian menjadi kisah yang menakjubkan sampai sekarang. Takjub karena perjalanan
horizontal dan vertical itu hanya dilakukan dengan waktu yang singkat. Sebuah perjalanan
spiritual dari masjidil haram ke masjidil aqsa (horizontal) lalu berlanjut ke
sidratul muntaha, tempat yang tinggi (vertikal).
Saat itu, secara ilmiah sulit untuk dipercaya perjalanan seperti itu bisa
dilakukan. Walaupun percaya sebenarnya kadang tak perlu tahu lebih dulu. Sebagai umat Nabi Muhammad SAW, saya wajib mengimaninya. Tapi, setelah ilmu
pengetahuan berkembang, ternyata perjalanan seperti itu sangat mungkin
dilakukan. Itu sebabnya kisah itu menjadi inspirasi bagi pengembangan teknologi
pesawat supersonik.
Ya, salah satu cara menikmati alam dunia ini adalah dengan
takjub. Alangkah sedih misalnya jika saya sudah tidak bisa takjub lagi dengan
apa-apa yang menjadi ciptaanNya. Sebuah semiotika (tanda) kebesaranNya.
Setiap tahun, di sekolah saya selalu memperingati perjalanan
yang sering disebut isra’ mi’raj itu. Tapi keadaan yang terus berulang itu tak
kunjung menimbulkan apa-apa bagi saya. Tak lebih dari sebuah cerita yang
ditulis setiap tahun menjai tema dan bahan ceramah ustadz di dalam peringatan. Tidak
berarti apa-apa buat saya karena merasa kalau memposisikan Nabi itu bukan
manusia laiknya manusia biasa, mungkin kata “manusia langitan” menurut saya
saat itu. Sehingga hal itu wajar, dan menjadi biasa-biasa saja. Tidak ada
ketakjuban perjalanan yang ajaib bisa dilakukan oleh manusia langitan.
Sampai suatu ketika saya mencari tahu siapa Muhammad-tokoh
utama dalam perjalanan mendaki itu- membuka rasa takjub dalam diri saya. Apakah
sesuatu yang dianggap luar biasa jika diulang-ulang tanpa pemaknaan akan
membuat menjadi biasa-biasa saja? Ah ini
seperti pertanyaan seorang filsuf saja. Tapi pantas saja cerita tentang isra’
mi’raj yang setiap tahun saya dengar lewat ceramah seorang mubaligh di SD, SMP,
SMA, atau di lingkungan kampung saya ya seputar itu-itu saja. Tentang perjalanan Rasullullah dari
masjidil haram ke masjidil aqsa lalu naik ke langit tujuh menghadap langsung ke
haribaan Allah SWT, menerima wahyu secara langsung yakni perintah shalat lima
waktu. Praktis jika sampai disitu saja, hal itu tidak menjadi luar biasa. Tidak
ada ketakjuban. Saya menuntut ketakjuban
Maka perlu pemaknaan dari suatu kejadian. Kejadian yang
memang membutuhkan ruh supaya kita mendapat
hikmah (pelajaran) dari peristiwa (tanda-tanda). Salah satunya adalah
memunculkan perasaan takjub. Di era informasi
yang serba cepat seperti sekarang sepertinya
dunia mengalami krisis takjub (pemaknaan). Kita tidak sempat memikirkan sejenak
tentang semiotik suatu peristiwa. Alih-alih takjub tentang hal kebendaan.
"Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan
hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang
telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari
tanda-tanda (kebesaran) Kami." (QS. Al Isra ayat 1)
Lewat perasaan takjub, berarti kita
telah mengimani sebab dari kejadian, mengakui kebesaran Allah SWT. Saya takut
kalau sampai tidak punya rasa takjub, karena melihat bahwa bagi Allah itu
biasa. Jadi bukan suatu yang istimewa lagi. Bukankah yang seperti itu merupakan
suatu kesombongan. Seperti cerita tentang seorang yang sombong ingin melihat wujud
Tuhannya. Jangankan melihat Tuhan, untuk melihat jitok (leher bagian belakang) diri sendiri saja tak mampu. Adakah
orang yang bisa tanpa alat bantu? Sepertinya kita harus memutar kepala dulu (dalam
artian yang sebenarnya) untuk melihat jitok kita itu. Hhe..
Pemaknaan yang sederhana. Tapi sudahkah
kita pernah takjub mengetahui peristiwa tanda-tanda itu? Jangan-jangan kita malah
melewatkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar