Sabtu, 16 Mei 2015

Takjub

Perjalanan  itu dilakukan  malam hari, kurang dari satu malam, sebuah perjalanan horizontal-vertikal  yang kemudian menjadi kisah yang menakjubkan  sampai sekarang. Takjub karena perjalanan horizontal dan vertical itu hanya dilakukan dengan waktu yang singkat. Sebuah perjalanan spiritual dari masjidil haram ke masjidil aqsa (horizontal) lalu berlanjut ke sidratul muntaha, tempat yang tinggi  (vertikal). Saat itu, secara ilmiah sulit untuk dipercaya perjalanan seperti itu bisa dilakukan. Walaupun percaya sebenarnya kadang tak perlu tahu lebih dulu. Sebagai umat Nabi Muhammad SAW, saya wajib mengimaninya. Tapi, setelah ilmu pengetahuan berkembang, ternyata perjalanan seperti itu sangat mungkin dilakukan. Itu sebabnya kisah itu menjadi inspirasi bagi pengembangan teknologi pesawat supersonik.

Ya, salah satu cara menikmati alam dunia ini adalah dengan takjub. Alangkah sedih misalnya jika saya sudah tidak bisa takjub lagi dengan apa-apa yang menjadi ciptaanNya. Sebuah semiotika (tanda) kebesaranNya.

Setiap tahun, di sekolah saya selalu memperingati perjalanan yang sering disebut isra’ mi’raj itu. Tapi keadaan yang terus berulang itu tak kunjung menimbulkan apa-apa bagi saya. Tak lebih dari sebuah cerita yang ditulis setiap tahun menjai tema dan bahan ceramah ustadz di dalam peringatan. Tidak berarti apa-apa buat saya karena merasa kalau memposisikan Nabi itu bukan manusia laiknya manusia biasa, mungkin kata “manusia langitan” menurut saya saat itu. Sehingga hal itu wajar, dan menjadi biasa-biasa saja. Tidak ada ketakjuban perjalanan yang ajaib bisa dilakukan oleh manusia langitan.

Sampai suatu ketika saya mencari tahu siapa Muhammad-tokoh utama dalam perjalanan mendaki itu- membuka rasa takjub dalam diri saya. Apakah sesuatu yang dianggap luar biasa jika diulang-ulang tanpa pemaknaan akan membuat  menjadi biasa-biasa saja? Ah ini seperti pertanyaan seorang filsuf saja. Tapi pantas saja cerita tentang isra’ mi’raj yang setiap tahun saya dengar lewat ceramah seorang mubaligh di SD, SMP, SMA, atau di lingkungan kampung saya ya seputar itu-itu saja. Tentang perjalanan Rasullullah dari masjidil haram ke masjidil aqsa lalu naik ke langit tujuh menghadap langsung ke haribaan Allah SWT, menerima wahyu secara langsung yakni perintah shalat lima waktu. Praktis jika sampai disitu saja, hal itu tidak menjadi luar biasa. Tidak ada ketakjuban. Saya menuntut ketakjuban

Maka perlu pemaknaan dari suatu kejadian. Kejadian yang memang membutuhkan ruh supaya kita mendapat  hikmah (pelajaran) dari peristiwa (tanda-tanda). Salah satunya adalah memunculkan perasaan takjub.  Di era informasi yang  serba cepat seperti sekarang sepertinya dunia mengalami krisis takjub (pemaknaan). Kita tidak sempat memikirkan sejenak tentang semiotik suatu peristiwa. Alih-alih takjub tentang hal kebendaan.

"Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami." (QS. Al Isra ayat 1)

Lewat perasaan takjub, berarti kita telah mengimani sebab dari kejadian, mengakui kebesaran Allah SWT. Saya takut kalau sampai tidak punya rasa takjub, karena melihat bahwa bagi Allah itu biasa. Jadi bukan suatu yang istimewa lagi. Bukankah yang seperti itu merupakan suatu kesombongan. Seperti cerita tentang seorang yang sombong ingin melihat wujud Tuhannya. Jangankan melihat Tuhan, untuk melihat jitok (leher bagian belakang) diri sendiri saja tak mampu. Adakah orang yang bisa tanpa alat bantu? Sepertinya kita harus memutar kepala dulu (dalam artian yang sebenarnya) untuk melihat jitok kita itu. Hhe..


Pemaknaan yang sederhana. Tapi sudahkah kita pernah takjub mengetahui peristiwa tanda-tanda itu? Jangan-jangan kita malah melewatkannya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar