“Janganlah pergi seakan kamu sedang pergi, jadilah
peziarah tanpa melakukan ziarah, jadilah peziarah sekarang juga, kini dan di
sini.” -Raymond Pannikar
Pada abad pertengahan, orang Eropa menyebut
diri manusia sebagai Homo Viator, yakni orang di perjalanan, pendatang,
atau perantau. Namun demikian, Homo Viator tidak berarti sebagai
“pelancong” atau turis. Sebab perjalanannya mempunyai tujuan yang arahnya sudah
ditentukan oleh si pejalan itu sendiri1. Hidup manusia memang tidak
akan lepas dari perjalanan. Selalu bergerak, berpindah tempat dari tempat yang
satu ke tempat yang lain. Salah satu bentuk mobilitas manusia tersebut yakni
ziarah.
Ziarah adalah sebuah perjalanan dari
tempat tinggal sendiri ke tempat yang lain yang memiliki keistimewaan dari segi
religius2. Ziarah sangat erat kaitannya dengan ritus keagamaan.
Sebagian besar dari umat beragama di dunia melaksanakan praktik ziarah ini
sebagai ungkapan rasa keberagaman, penghormatan terhadap para pendahulunya.
Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke- 69 Republik Indonesia saat ini
sebagai contoh, masyarakat Indonesia lazim berkunjung ke makam pahlawan
Nasional seperti makam Bung Karno di Blitar, kemudian Taman Makam Pahlawan
Kalibata di Jakarta. Ziarah ini ditujukan sebagai rasa penghormatan, cinta dan
terima kasih atas jasa-jasa para pahlawan yang telah gugur dalam perjuangan
demi menuju alam Indonesia yang merdeka.
Bahkan Indonesia sudah memiliki sejarah tradisi ziarah yang beragam sebelum
itu. Masuknya ajaran agama-agama di Indonesia mempengaruhi macam ritus-ritus
keagamaan yang ada
Tradisi ziarah banyak dijumpai dalam
tradisi keagamaan, semua agama memiliki tradisi ziarahnya masing-masing. Ziarah
ke Mekkah bagi muslim, ziarah ke Yerussalem
bagi umat yahudi dan kristiani, ziarah ke Ise bagi penganut Shinto di Jepang,
ke Benares bagi orang Hindu di India atau ke gunung Wu-ta’i bagi kaum Buddhis
di Cina3. Bahkan bagi yang meng-klaim dirinya sebagai Ateis atau
tanpa agama sekali pun sebenarnya juga melaksanakan praktik ziarah, seperti
penganut paham komunis-leninisme yang menyambangi makam lenin di Rusia.
Bagi umat Islam, ziarah secara umum dimaknai
sebagai upaya mengambil manfaat dari kekuatan kemuliaan orang-orang yang
dianggap dekat dengan Tuhan. Oleh sebab itu, sebagian besar umat islam
mejadikan ziarah sebagian dari ibadah mereka. Pada ibadah haji, biasanya para
jama’ah mengunjungi makam Siti Hajar dan Nabi Ismail yang letaknya tidak jauh
dari kakbah. Kemudian berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW, makam Baqi’ dan
makam Syuhada’ Badar. Sementara itu, bagi golongan syi’ah, mereka mempunyai
tradisi ziarah yang lebih panjang daripada umat islam golongan lain. Selain
kota Makkah dan Madinah, juga kota Karbala, Najaf hingga Bahdad tempat makam
Imam Musa al-Khadzim.
Di kalangan umat Islam tradisional
Indonesia yang kuat terpengaruh ajaran sufisme Jawa, ziarah merupakan sebuah
bagian integral peribadatan mereka yang percaya dengan kekuatan barakah,
karamah. Diyakini bahwa kemuliaan jiwa dari orang-orang suci yang dianggap
dekat dengan Allah yang biasa disebut dengan wali-wali Allah itu memberikan
manfaat, keberkahan tersendiri. Akibat kuatnya kepercayaan terhadap barakah,
karamah , tidak heran bahwa kalangan muslim tradisional Indonesia
memiliki tempat-tempat peziarahan yang banyak bahkan saking banyaknya,
tempat-tempat itu tak terhitung jumlahnya. Sebab dewasa ini muncul di berbagai
tempat-tempat di Indonesia yang dianggap suci dan dikeramatkan walaupun
acapkali tidak jelas sumber rujukan yang menjadi dasar asal-muasal suatu tempat
tersebut dikeramatkan.
Dalam Tradisi Yahudi, ziarah bahkan
merupakan suatu bentuk kewajiban. Adalah bahwa setiap orang Yahudi laki-laki
yang telah dewasa diharuskan untuk menunaikan ziarah ke Kenisah di Yerussalem
sebagai kewajiban religius4. Kewajiban tersebut dikarenakan
mempunyai hubungan erat dengan tiga pesta penting dalam agama Yahudi, yakni mazzot
(pesta roti tak beragi), Shawuot (pesta Pentakosta), dan sukkot
(pesta pondok daun). Terdapat makna penting dari dari kewajiban menunaikan
ziarah ini, yakni dimaksudkan untuk merayakan kebersamaan diantara sesama
Yahudi di luar keluarganya sendiri. Serta sebuah peringatan kesatuan Israel
sebagai satu bangsa, satu kesatuan religius yang wajib diwujudkan dalam bentuk
kehadiran fisik di Kenisah di Yerusalem. Di sini ziarah mempunyai peranan
penting dalam pembangunan dan peneguhan identitas Israel sebagai suatu bangsa
melalui upaya tersentralisir. Masyarakat harus sadar akan tanggung jawabnya
terhadap satu sama lain, antara se-bangsa dan antar umat beragama. Jika
kesadaran akan pemaknaan ziarah tersebut tidak terjaga atau dilupakan, maka
ziarah dan segala perayaan lainnya akan kehilangan makna.
Pembebasan dan Penerimaan
Praktik ziarah sejak ratusan tahun yang
lalu telah menjadi bahasa agama rakyat, dengan menyambangi ke tempat-tempat
suci, tidak hanya untuk melancong-sekedar bepergian mengunjungi suatu tempat
yang ingin dituju- umat beragama mencari dan menemukan makna kehidupan,
permenungan dan sarat olah batin. Para peziarah punya arah perjalanannya dengan
ciri khas mereka sendiri. Tak sedikit cara itu dipandang sebagai praktik agama
yang sudah tidak murni. Walaupun demikian, perjalanan ziarah akan terus ada,
sebab dalam ziarah orang dapat merasakan dan mengalami perjalanan batin secara
nyata menuju Tuhan. Tuhan sulit dijangkau manusia jadi mudah dijumpai di
tempat-tempat. Tak dapat dipungkiri anggapan itu disalahpahami sehingga tempat
itu di-berhala-kan. Akhirnya praktik ziarah di cap sebagai perbuatan takhayul.
Tak jarang juga, praktik ziarah tersebut
kian memperdalam perjalanan spiritual si peziarah, karena berziarah ia dapat
memahami betul bahwa kematian itu benar-benar nyata. Seakan mengingatkan
peziarah, setiap yang mempunyai nyawa juga pasti mengalami mati. Dan kesadaran
itu sulit dicapai dalam konteks kekinian yang telah sepi di rongrong oleh gaya
hidup serba materialistis yang menuntut orang harus hidup- kematian dianggap
sebagai penghalang untuk mencapai tujuan materialistik tersebut, sehingga
muncul sebuah penyakit “takut mati”. Sesungguhnya kematian itu pasti, ia
merupakan bagian dari perjalanan setiap manusia sebagai Homo Viator.
Tepat apa yang disampaikan Sindhunata
dalam esainya yang berjudul Musafir dalam Batin, dalam terbitan Basis
tahun ke- lima puluh enam, ia mengkisahkan kehidupan seorang Raymond Pannikar-mantan profesor
studi agama-agama di Universitas California yang kemudian hidup menyepi di
sebuah desa Pyrenea. Pannikar pernah menyempatkan diri untuk berziarah ke Kaliasa,
tempat suci bagi agama Hindu, Buddha maupun Sikh. Kaliasa merupakan gunung
tinggi yang masih alami.
Saat itu, di puncak Kaliasa, Pannikar
mengalami sebuah keadaan diantara ada dan tiada. Kaliasa membawa suasana yang
menurut Pannikar ia bisa merasakan kematian itu ada. Kematian itu ada di
mana-mana bukan hanya ada dalam dirinya. Kematian itu menjadi bagian dari
dirinya, kematian bukan sebuah ancaman, melainkan sebuah pelukan yang
membunuhnya secara damai. Ia juga merasa kalau ia sedang berada diluar sejarah,
seakan ia melihat waktu, waktu itu bergerak dan ia berada diluarnya. Dalam
keaadan seperti itu, Pannikar tersadarkan, hidup tak tak bisa lagi ditentukan
oleh target atau pencapaian. Jelas
bertolakbelakang sama sekali dengan kehidupansembi kita sehari hari yang, kita
hidup adalah karena kita hendak mengejar sesuatu. Hari ini bekerja keras untuk
besok. Ada suatu konsep pengharapan (Wish) disini. Kematian menjadi
pengancam gagalnya sebuah harapan tersebut. Sedangkan di Kaliasa, Pannikar
merasakan bahwa ia sedang di dalam kepenuhan hari ini, jadi ia tidak
mengharapkan pemenuhan hari esok. Jiwanya dilimpahi kecukupan dan ketenangan.
Hidupnya penuh kebebasan dan penerimaan
Sikap kebebasan untuk menerima itulah yang
diajarkan dalam ziarah. Menurut Pannikar, ziarah bukanlah kegiatan yang istimewa.
Ziarah seharusnya sudah menjadi kehidupan sehari-hari kita. Terlebih kita
sebagai umat beragama kita hendaknya sudi untuk menjadi bebas untuk menerima
agar apa-apa yang dianugrahkan Tuhan kepada kita dapat kita syukuri dengan
pikiran dan hati yang jernih. Sejalan dengan itu pantaslah kemudian penyair,
Novalis berkata,”Kita bermimpi untuk berkelana ke seluruh dunia. Tidakkah dunia
itu sudah ada dalam diri kita? Memang kedalaman terdalam dari Roh yang
menghidupi diri kita ternyata tak kita kenal. Kita mesti pergi ke kedalaman
dari Roh itu, dan jalan ke sana sangat penuh dengan misteri yang mengejutkan.”
Seyogyanya kita dapat belajar dari perjalanan ziarah kita bahwa memang
sebenarnya ziarah bukan hal yang istimewa dari bagian kehidupan kita. Maka
bebaskanlah cara hidupmu yang terikat pencapaian- pencapaian itu. Bersiaplah
untuk menerima dan menemukan. Sekarang tunggu apalagi, selamat melakukan
perziarahan hidupmu menuju Dia yang Maha Tinggi. Dzat yang akan menuntun
langkahmu ke kedalaman hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar