Selasa, 05 Mei 2015

Ziarah


“Janganlah pergi seakan kamu sedang pergi, jadilah peziarah tanpa melakukan ziarah, jadilah peziarah sekarang juga, kini dan di sini.” -Raymond Pannikar

Pada abad pertengahan, orang Eropa menyebut diri manusia sebagai Homo Viator, yakni orang di perjalanan, pendatang, atau perantau. Namun demikian, Homo Viator tidak berarti sebagai “pelancong” atau turis. Sebab perjalanannya mempunyai tujuan yang arahnya sudah ditentukan oleh si pejalan itu sendiri1. Hidup manusia memang tidak akan lepas dari perjalanan. Selalu bergerak, berpindah tempat dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Salah satu bentuk mobilitas manusia tersebut yakni ziarah.

Ziarah adalah sebuah perjalanan dari tempat tinggal sendiri ke tempat yang lain yang memiliki keistimewaan dari segi religius2. Ziarah sangat erat kaitannya dengan ritus keagamaan. Sebagian besar dari umat beragama di dunia melaksanakan praktik ziarah ini sebagai ungkapan rasa keberagaman, penghormatan terhadap para pendahulunya. Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke- 69 Republik Indonesia saat ini sebagai contoh, masyarakat Indonesia lazim berkunjung ke makam pahlawan Nasional seperti makam Bung Karno di Blitar, kemudian Taman Makam Pahlawan Kalibata di Jakarta. Ziarah ini ditujukan sebagai rasa penghormatan, cinta dan terima kasih atas jasa-jasa para pahlawan yang telah gugur dalam perjuangan demi menuju alam Indonesia  yang merdeka. Bahkan Indonesia sudah memiliki sejarah tradisi ziarah yang beragam sebelum itu. Masuknya ajaran agama-agama di Indonesia mempengaruhi macam ritus-ritus keagamaan yang ada
Tradisi ziarah banyak dijumpai dalam tradisi keagamaan, semua agama memiliki tradisi ziarahnya masing-masing. Ziarah ke Mekkah bagi  muslim, ziarah ke Yerussalem bagi umat yahudi dan kristiani, ziarah ke Ise bagi penganut Shinto di Jepang, ke Benares bagi orang Hindu di India atau ke gunung Wu-ta’i bagi kaum Buddhis di Cina3. Bahkan bagi yang meng-klaim dirinya sebagai Ateis atau tanpa agama sekali pun sebenarnya juga melaksanakan praktik ziarah, seperti penganut paham komunis-leninisme yang menyambangi makam lenin di Rusia.
 Bagi umat Islam, ziarah secara umum dimaknai sebagai upaya mengambil manfaat dari kekuatan kemuliaan orang-orang yang dianggap dekat dengan Tuhan. Oleh sebab itu, sebagian besar umat islam mejadikan ziarah sebagian dari ibadah mereka. Pada ibadah haji, biasanya para jama’ah mengunjungi makam Siti Hajar dan Nabi Ismail yang letaknya tidak jauh dari kakbah. Kemudian berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW, makam Baqi’ dan makam Syuhada’ Badar. Sementara itu, bagi golongan syi’ah, mereka mempunyai tradisi ziarah yang lebih panjang daripada umat islam golongan lain. Selain kota Makkah dan Madinah, juga kota Karbala, Najaf hingga Bahdad tempat makam Imam Musa al-Khadzim.
Di kalangan umat Islam tradisional Indonesia yang kuat terpengaruh ajaran sufisme Jawa, ziarah merupakan sebuah bagian integral peribadatan mereka yang percaya dengan kekuatan barakah, karamah. Diyakini bahwa kemuliaan jiwa dari orang-orang suci yang dianggap dekat dengan Allah yang biasa disebut dengan wali-wali Allah itu memberikan manfaat, keberkahan tersendiri. Akibat kuatnya kepercayaan terhadap barakah, karamah , tidak heran bahwa kalangan muslim tradisional Indonesia memiliki tempat-tempat peziarahan yang banyak bahkan saking banyaknya, tempat-tempat itu tak terhitung jumlahnya. Sebab dewasa ini muncul di berbagai tempat-tempat di Indonesia yang dianggap suci dan dikeramatkan walaupun acapkali tidak jelas sumber rujukan yang menjadi dasar asal-muasal suatu tempat tersebut dikeramatkan.
Dalam Tradisi Yahudi, ziarah bahkan merupakan suatu bentuk kewajiban. Adalah bahwa setiap orang Yahudi laki-laki yang telah dewasa diharuskan untuk menunaikan ziarah ke Kenisah di Yerussalem sebagai kewajiban religius4. Kewajiban tersebut dikarenakan mempunyai hubungan erat dengan tiga pesta penting dalam agama Yahudi, yakni mazzot (pesta roti tak beragi), Shawuot (pesta Pentakosta), dan sukkot (pesta pondok daun). Terdapat makna penting dari dari kewajiban menunaikan ziarah ini, yakni dimaksudkan untuk merayakan kebersamaan diantara sesama Yahudi di luar keluarganya sendiri. Serta sebuah peringatan kesatuan Israel sebagai satu bangsa, satu kesatuan religius yang wajib diwujudkan dalam bentuk kehadiran fisik di Kenisah di Yerusalem. Di sini ziarah mempunyai peranan penting dalam pembangunan dan peneguhan identitas Israel sebagai suatu bangsa melalui upaya tersentralisir. Masyarakat harus sadar akan tanggung jawabnya terhadap satu sama lain, antara se-bangsa dan antar umat beragama. Jika kesadaran akan pemaknaan ziarah tersebut tidak terjaga atau dilupakan, maka ziarah dan segala perayaan lainnya akan kehilangan makna.

Pembebasan dan Penerimaan
Praktik ziarah sejak ratusan tahun yang lalu telah menjadi bahasa agama rakyat, dengan menyambangi ke tempat-tempat suci, tidak hanya untuk melancong-sekedar bepergian mengunjungi suatu tempat yang ingin dituju- umat beragama mencari dan menemukan makna kehidupan, permenungan dan sarat olah batin. Para peziarah punya arah perjalanannya dengan ciri khas mereka sendiri. Tak sedikit cara itu dipandang sebagai praktik agama yang sudah tidak murni. Walaupun demikian, perjalanan ziarah akan terus ada, sebab dalam ziarah orang dapat merasakan dan mengalami perjalanan batin secara nyata menuju Tuhan. Tuhan sulit dijangkau manusia jadi mudah dijumpai di tempat-tempat. Tak dapat dipungkiri anggapan itu disalahpahami sehingga tempat itu di-berhala-kan. Akhirnya praktik ziarah di cap sebagai perbuatan takhayul.
Tak jarang juga, praktik ziarah tersebut kian memperdalam perjalanan spiritual si peziarah, karena berziarah ia dapat memahami betul bahwa kematian itu benar-benar nyata. Seakan mengingatkan peziarah, setiap yang mempunyai nyawa juga pasti mengalami mati. Dan kesadaran itu sulit dicapai dalam konteks kekinian yang telah sepi di rongrong oleh gaya hidup serba materialistis yang menuntut orang harus hidup- kematian dianggap sebagai penghalang untuk mencapai tujuan materialistik tersebut, sehingga muncul sebuah penyakit “takut mati”. Sesungguhnya kematian itu pasti, ia merupakan bagian dari perjalanan setiap manusia sebagai Homo Viator.
Tepat apa yang disampaikan Sindhunata dalam esainya yang berjudul Musafir dalam Batin, dalam terbitan Basis tahun ke- lima puluh enam, ia mengkisahkan kehidupan  seorang Raymond Pannikar-mantan profesor studi agama-agama di Universitas California yang kemudian hidup menyepi di sebuah desa Pyrenea. Pannikar pernah menyempatkan diri untuk berziarah ke Kaliasa, tempat suci bagi agama Hindu, Buddha maupun Sikh. Kaliasa merupakan gunung tinggi yang masih alami.
Saat itu, di puncak Kaliasa, Pannikar mengalami sebuah keadaan diantara ada dan tiada. Kaliasa membawa suasana yang menurut Pannikar ia bisa merasakan kematian itu ada. Kematian itu ada di mana-mana bukan hanya ada dalam dirinya. Kematian itu menjadi bagian dari dirinya, kematian bukan sebuah ancaman, melainkan sebuah pelukan yang membunuhnya secara damai. Ia juga merasa kalau ia sedang berada diluar sejarah, seakan ia melihat waktu, waktu itu bergerak dan ia berada diluarnya. Dalam keaadan seperti itu, Pannikar tersadarkan, hidup tak tak bisa lagi ditentukan oleh target  atau pencapaian. Jelas bertolakbelakang sama sekali dengan kehidupansembi kita sehari hari yang, kita hidup adalah karena kita hendak mengejar sesuatu. Hari ini bekerja keras untuk besok. Ada suatu konsep pengharapan (Wish) disini. Kematian menjadi pengancam gagalnya sebuah harapan tersebut. Sedangkan di Kaliasa, Pannikar merasakan bahwa ia sedang di dalam kepenuhan hari ini, jadi ia tidak mengharapkan pemenuhan hari esok. Jiwanya dilimpahi kecukupan dan ketenangan. Hidupnya penuh kebebasan dan penerimaan
Sikap kebebasan untuk menerima itulah yang diajarkan dalam ziarah. Menurut Pannikar, ziarah bukanlah kegiatan yang istimewa. Ziarah seharusnya sudah menjadi kehidupan sehari-hari kita. Terlebih kita sebagai umat beragama kita hendaknya sudi untuk menjadi bebas untuk menerima agar apa-apa yang dianugrahkan Tuhan kepada kita dapat kita syukuri dengan pikiran dan hati yang jernih. Sejalan dengan itu pantaslah kemudian penyair, Novalis berkata,”Kita bermimpi untuk berkelana ke seluruh dunia. Tidakkah dunia itu sudah ada dalam diri kita? Memang kedalaman terdalam dari Roh yang menghidupi diri kita ternyata tak kita kenal. Kita mesti pergi ke kedalaman dari Roh itu, dan jalan ke sana sangat penuh dengan misteri yang mengejutkan.” Seyogyanya kita dapat belajar dari perjalanan ziarah kita bahwa memang sebenarnya ziarah bukan hal yang istimewa dari bagian kehidupan kita. Maka bebaskanlah cara hidupmu yang terikat pencapaian- pencapaian itu. Bersiaplah untuk menerima dan menemukan. Sekarang tunggu apalagi, selamat melakukan perziarahan hidupmu menuju Dia yang Maha Tinggi. Dzat yang akan menuntun langkahmu ke kedalaman hidup.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar