Menurut cerita, selama peradaban manusia muncul di muka
bumi, hanya ada 1 manusia yang pernah mengaku paling kaya di dunia ini yang dapat
mengalahkan Tuhan. Sampai Tuhan pun dibuat mengamininya. Hanya ada seorang saja
yang suatu ketika dia teriak-teriak bahwa dia lebih kaya dari Tuhan.
Menyebabkan ia kemudian harus ditangkap oleh polisi. Lalu dia berkata “Tuhan
harta yang termahal itu adalah anak yang saleh. Dan saya punya 12 anak yang
saleh-salehah, sedangkan Tuhan tak jua punya anak 1 pun tidak.” Orang itu
bernama Abu Nawas.
Agaknya kita sekarang dikepung oleh kapital-isme yang
membuat kita bahkan sulit untuk bernafas. Tiap hari kita dijejali dengan sampah
visual. Dimana-mana orang beriklan. Mulai dari baliho di jalanan sampai di
pinggiran gincu para selebgram. Sesuatu yang sekarang dituhankan yakni segala
hal yang berkutat pada harta, tahta, dan wanita. Mereka bertiga telah dijadikan
sebagai tujuan. Bukan lagi cara atau alat untuk mencapai kebahagiaan yang
hakikat. Misalnya, orang yang membaca buku itu sebenarnya membuang waktu saja,
karena tidak mengahasilkan uang. Atau orang yang mengaji disebut sia-sia.
Sampai-sampai kita kehilangan kemanusiaan kita. Contoh kecilnya sederhana.
Bagaimana ketika kita dihadapkan pada kondisi ada orang yang sedang kelaparan
saat kita berjalan didepannya? Menurut hukum formal mungkin kita tidak bersalah
jika terus saja jalan. Tapi apakah itu masih bisa disebut manusia yang terikat
padanya suatu hukum moralitas. Dalam ukuran itu sikap pembiaran dihukumi
bersalah. Tapi apa daya yang terjadi di bangsa saya ini. Yang hukum formal
dibuat sendiri saja juga dikutuk-dilanggar sendiri pula, kalau bersikap baik
dengan menolong dimanfaatkan lagi buat mengumpulkan massa, ujungnya adalah
penciptaan pasar, lagi-lagi anak kandung materialisme terlahir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar