Kamis, 07 Juli 2016

Ambil Bagian

Hari kedua lebaran, buat tetangga saya bukan jadi hari yang membahagiakan tapi justru hari berduka cita. Pasalnya, sehabis subuh tadi tetangga saya yang sedang sakit beberapa bulan yang lalu meninggal dunia karena mengidap HIV. Entah  nggak ngerti jeluntrungnya kenapa sampai virus yang nggak ada obatnya itu bisa sampai menggerogoti tubuhnya. Sampai, saya sendiri yang baru melihatnya nggak tega karena tubuh mayyit sudah seperti tengkorak hidup. Padahal sekitar tiga bulan lalu, ketika terakhir saya bertemu si almarhum ini sehat-sehat saja, tubuhnya berperawakan kekar dan jangkung. Ada fenomena yang menarik bagi saya ketika moment lebaran kali ini ada keluarga yang berduka. Pertama, saya kembali melihat warga kampung saya yang geguyub rukun. Berbondong-bondong mengunjungi rumah almarhum. Tidak ada yang menyuruh, hanya informasi yang disiarkan lewat speaker musholla saja mungkin agar seluruh warga kampung tau. Ada yang mengurus acara pemakaman, mengambil keranda mayat, meyiapkan air untuk memandikan jenazah, si dermawan berinisiatif membelikan perlengkapan pemakaman seperti papan kayu, batu nisan, dan  tirai untuk alas dan saya sendiri ambil bagian menulis nama almarhum di batu nisan. Ada yang bercandain, “Dibuat gambar yang mati juga ya rul” seloroh seorang sambil terkekeh. Ini pengalaman pertama saya menulis nama orang yang mati di batu nisan. Sedikit ngeri..Hhe.. sebab suatu saat nama saya juga pasti terukir serupa di batu nisan seperti ini.


Kematian, tercerainya nyawa dan badan, sampai saat ini menurut saya adalah nasihat terbaik yang bisa disampaikan Tuhan kepada kita. Ada banyak hikmah yang bisa kita ambil dari sebuah prosesi kematian. Fenomena yang bisa saya ceritakan disini kedua yakni, sungguh kematian itu sangatlah menyakitkan. Sebelumnya, sekitar satu bulan yang lalu, almarhum ini sudah mengalami sakarotul maut. Kondisinya sempat parah, lalu warga membantu menuntunnya mengucap kalimat ilahi agar lebih mudah jalannya. Namun, yang ada hanya rintihan, teriakkan kata yang tak jelas riaknya. Mungkin menurut kita yang masih sehat, mengucap Allah itu sangat mudah. Tapi siapa tau mulut kita nanti mengucap kata yang lain saat tak kuasa menahan sakit sebab asing mengucap kalimat ilahiyah. Disaat itu mungkin lidah dan seluruh anggota tubuh tak bisa berbohong tentang apa ia terbiasa digunakan. Secara reflek kebiasaan itulah yang akan keluar. Sayang sekali misalnya seperti almarhum ini, ia tak kuasa menahan sakit sampai mulutnya berkeluh mengucap kata kotor sedang anaknya hanya bisa menangis saat diminta mengaji oleh bapaknya itu. Ibu saya hanya terdiam terisak melihat pemandangan itu. Ya, ibu saya bercerita seperti itu. Sungguh jadi pelajaran bagi yang menyaksikan. Ketiga, silaturrahmi bersama di rumah keluarga duka. Melayat dijadiikan sebagai momentum untuk halal bi halal antara warga kampung. Begitu juga untuk menyampaikan duka cita yang mendalam terhadap korban yang ditinggalkan, sebab almarhum meninggalkan 2 anak yang usianya masih remaja dan seorang nenek. Sedangkan istrinya telah bercerai sudah lama. Si anak yang bungsu tidak mau ikut ibunya karena suatu alasan. Akhirnya kakak beradik ini hanya tinggallah berdua mengurus neneknya yang sudah pikun ini.

Tentang almarhum, sebenarnya saya tidak ingin menghakimi bagaimana ia selama masih hidup. Tapi mungkin inilah fakta bagaimana sakit itu bukan hanya bentuk dari sebuah ujian atau musibah. Melainkan bisa jadi azab Tuhan kepada manusia, agar meringankan penderitaan atas siksa di kubur dan akhirat kelak. Apa-apa yang dilakukan selama almarhum masih hidup mungkin jauh dari petunjuk Allah. Sehingga ketika ia akan pergi dari dunia ini mendapat penderitaan dulu. Pasti itu juga yang terbaik menurut sisi Tuhan untuk meringankan beban di akhirat sesuai amal timbangan perbuatan ketika masih hidup. Waallahu a’lam.
Semoga amal perbuatan almarhum diterima disisiNya. amin


Tidak ada komentar:

Posting Komentar