Hari kedua lebaran, buat tetangga
saya bukan jadi hari yang membahagiakan tapi justru hari berduka cita. Pasalnya,
sehabis subuh tadi tetangga saya yang sedang sakit beberapa bulan yang lalu
meninggal dunia karena mengidap HIV. Entah nggak ngerti jeluntrungnya kenapa sampai virus
yang nggak ada obatnya itu bisa sampai menggerogoti tubuhnya. Sampai, saya
sendiri yang baru melihatnya nggak tega karena tubuh mayyit sudah seperti
tengkorak hidup. Padahal sekitar tiga bulan lalu, ketika terakhir saya bertemu
si almarhum ini sehat-sehat saja, tubuhnya berperawakan kekar dan jangkung. Ada
fenomena yang menarik bagi saya ketika moment lebaran kali ini ada keluarga
yang berduka. Pertama, saya kembali melihat warga kampung saya yang geguyub
rukun. Berbondong-bondong mengunjungi rumah almarhum. Tidak ada yang menyuruh,
hanya informasi yang disiarkan lewat speaker musholla saja mungkin agar seluruh
warga kampung tau. Ada yang mengurus acara pemakaman, mengambil keranda mayat,
meyiapkan air untuk memandikan jenazah, si dermawan berinisiatif membelikan
perlengkapan pemakaman seperti papan kayu, batu nisan, dan tirai untuk alas dan saya sendiri ambil
bagian menulis nama almarhum di batu nisan. Ada yang bercandain, “Dibuat gambar
yang mati juga ya rul” seloroh seorang sambil terkekeh. Ini pengalaman pertama
saya menulis nama orang yang mati di batu nisan. Sedikit ngeri..Hhe.. sebab
suatu saat nama saya juga pasti terukir serupa di batu nisan seperti
ini.
Kematian, tercerainya nyawa dan
badan, sampai saat ini menurut saya adalah nasihat terbaik yang bisa
disampaikan Tuhan kepada kita. Ada banyak hikmah yang bisa kita ambil dari
sebuah prosesi kematian. Fenomena yang bisa saya ceritakan disini kedua yakni,
sungguh kematian itu sangatlah menyakitkan. Sebelumnya, sekitar satu bulan yang
lalu, almarhum ini sudah mengalami sakarotul maut. Kondisinya sempat parah,
lalu warga membantu menuntunnya mengucap kalimat ilahi agar lebih mudah jalannya.
Namun, yang ada hanya rintihan, teriakkan kata yang tak jelas riaknya. Mungkin menurut
kita yang masih sehat, mengucap Allah itu sangat mudah. Tapi siapa tau mulut
kita nanti mengucap kata yang lain saat tak kuasa menahan sakit sebab asing
mengucap kalimat ilahiyah. Disaat itu mungkin lidah dan seluruh anggota tubuh
tak bisa berbohong tentang apa ia terbiasa digunakan. Secara reflek kebiasaan
itulah yang akan keluar. Sayang sekali misalnya seperti almarhum ini, ia tak
kuasa menahan sakit sampai mulutnya berkeluh mengucap kata kotor sedang anaknya
hanya bisa menangis saat diminta mengaji oleh bapaknya itu. Ibu saya hanya
terdiam terisak melihat pemandangan itu. Ya, ibu saya bercerita seperti itu. Sungguh
jadi pelajaran bagi yang menyaksikan. Ketiga, silaturrahmi bersama di rumah
keluarga duka. Melayat dijadiikan sebagai momentum untuk halal bi halal antara
warga kampung. Begitu juga untuk menyampaikan duka cita yang mendalam terhadap
korban yang ditinggalkan, sebab almarhum meninggalkan 2 anak yang usianya masih
remaja dan seorang nenek. Sedangkan istrinya telah bercerai sudah lama. Si anak
yang bungsu tidak mau ikut ibunya karena suatu alasan. Akhirnya kakak beradik
ini hanya tinggallah berdua mengurus neneknya yang sudah pikun ini.
Tentang almarhum, sebenarnya saya
tidak ingin menghakimi bagaimana ia selama masih hidup. Tapi mungkin inilah
fakta bagaimana sakit itu bukan hanya bentuk dari sebuah ujian atau musibah. Melainkan
bisa jadi azab Tuhan kepada manusia, agar meringankan penderitaan atas siksa di
kubur dan akhirat kelak. Apa-apa yang dilakukan selama almarhum masih hidup
mungkin jauh dari petunjuk Allah. Sehingga ketika ia akan pergi dari dunia ini
mendapat penderitaan dulu. Pasti itu juga yang terbaik menurut sisi Tuhan untuk
meringankan beban di akhirat sesuai amal timbangan perbuatan ketika masih
hidup. Waallahu a’lam.
Semoga amal perbuatan almarhum
diterima disisiNya. amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar