“Dimanapun kita berada, sebuah
masyarakat dianggap tinggi peradabannya ketika masih memiliki rasa malu.”
Kalau saya melihat gaya para
tersangka koruptor di televisi yang dengan santainya masih nyengir di depan kamera wartawan itu sangat miris rasanya. Apakah
mereka itu tidak malu. Lah tersangka
maling motor aja disensor wajahnya, ditutup-tutupin wajahnya ketika wartawan
ingin mengambil gambar wajahnya. Memang apa bedanya , apakah koruptor itu
maling yang elite begitu. Sehingga
walaupun maling tetap saja merasa terhormat. Masih punya malu-kah mereka.
Sering kali saya temukan juga di
daerah tempat asal, petugas balai desa , petugas polisi yang tidak malu
menerima uang sogokan dari masyarakat yang mengurus surat administratif , dari
pengendara yang diberhentikan karena melanggar lampu lalu lintas.
Rasa malu itu juga yang
membedakan manusia dengan hewan. Seperti
sindiran Rasullullah SAW “jika engkau tidak memiliki rasa malu, berbuatlah apa
saja layaknya hewan karena yang membedakan manusia dan hewan adalah adanya rasa
malu.”
Ketika kita dihadapkan dengan
lingkungan yang sudah zamannya orang tak malu lagi berbuat tercela seperti
sekarang ini, semoga kita kuat bertahan dengan memegang kukuh iman kita, iman
dan malu itu pasangan yang tidak terpisahkan. Punya rasa malu tetapi tanpa
iman, kebaikannya akan terbatas di dunia, kalu merasa beriman tapi tak punya
rasa malu ketika berbuat tercela itu keterlaluan.
Termasuk juga budaya malu di
jalan. Yang sering kali saya temui di jalan dewasa ini ialah budaya “populer”
kata orang-orang jawa itu akronimnya pupu-pupu diler (paha-paha yang dipamerkan). Kalau masih punya malu
berarti masih pakai baju, nah kalau dulu budaya masyarakat yang menjaga
kesantuan dalam hal pakaian dan perilaku, mungkin sekarang telah luntur. Lihat saja
cewek ABG kini tidak sedikit yang suka
memamerkan celana pendeknya. Sudah tak sungkan lagi mereka di keramaian hanya
memakai celana pendek, sangat minim. Kalau ditanya kenapa, mereka jawabnya ini
keren. Memang udah jamannya pakai kaya gini. “Iyo jamane wes edan, rusak” kataku dalam hati. Kerinduan saya pada
budaya santun, budaya malu yang kuat dari leluhur nenek moyang bangsa Indonesia semakin tak
terobati. Kemanakah saya harus mencarinya, apakah kita masih punya malu. Sampai
saat ini saya masih mencari dimana peradaban yang tinggi itu, walaupun saya
sedikit kecewa karena tak menemukan di negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar