Kamis, 06 Maret 2014

Sebuah Nasihat



          Sedikit tergesa-gesa aku dalam perjalanan pulang ke rumah beberapa hari yang lalu.Bukan langsung pulang ke rumah, tapi hari itu pikiran ini tertuju bagaimana agar cepat sampai di rumah sakit.Kakekku aku sedang sakit, setelah dikabarkan kalau beliau mengalami stroke saat terjatuh di sawah pekan lalu.Seingat sebulan yang lalu beliau masih sehat-sehat saja, aku selalu menyempatkan bertemu dan bercengkrama saat aku sedang dirumah. Sontak kejadian itu membuat aku kaget, ah merasa berdosanya akutidak bisa menyambangi kakek saat setelah peristiwa itu karena beberapa alasan yang tidak bisa aku tinggalkan di kota.
Langkah kaki ini semakin bergetar ketika melewati sepanjang lorong rumah sakit mencari ruangan ICU tempat kakek dirawat, pandangan mata ini telah membius perasaan dan pikiran.Melihat wajah-wajah cemas khawatir para keluarga yang sedang menunggu sedang sakit, membuat pikiran ini semakin tak tenang saja.Sempat berputar-putar mencari ruang ICU namun tak kunjung melihat keluargaku, akhirnya siapapun yang berpapasan denganku waktu itu aku tanyai, ternyata memang  tante, nenek saat itu yang berada disana sedang check up karena nenek kondisinya tidak enak badan, mungkin masuk angin karena selama seminggu di rumah sakit tidur di lantai beralaskan tikar. Setelah menunggu beberapa lama aku menunggu di depan ruang ICU, akhirnya aku
bertemu juga dengan nenek, katanya habis dari check up dan menebus obat di apotik.
Selang beberapa waktu, jam yang melingkar ditangan aku menunjukkan pukul 11:00. Itu artinya waktu masuk jam besuk rumah sakit, aku ingin sekali melihat langsung bagaimana kondisi kakek. Ini adalah pengalaman kali kedua seumur hidupku masuk ruangan rumah sakit setelah dulu ketika ayahku sakit dengan kondisinya yang harus dirawat inap.Aku ingin bercerita betapa dinginnya ruangan itu. Baju hijau rumah sakit seakan membuat aku tambah merasa dingin saja, ruangan ber-AC seharusnya membuat kering badanku, atau membuat dingin badanku, tapi hal itu tidak berlaku bagiku saat itu ketika aku bersanding di samping kakek yang terbujur di ranjang lengkap dengan selang oksigen beserta rangkaian kabel-kabel yang melekat pada dada kakek ditambah monitor dan lampu sinyal yang kapan saja bisa membuat setiap anggota keluarga sontak kaget ketika ia berbunyi atau menandakan terjadinya sesuatu.Disitu aku sadar betapa mahalnya kesahatan itu. Orang bernafas saja pake’ bayar segala, ini kan buminya Allah, bisikku dalam hati.
17 derajat celcius
Entah mengapa aku hanya bisa tertegun, memegang erat tangan kakek sambil membisikkan sesuatu di telinganya, ia tahu aku berada disitu, tangannya balik memeras tanganku, nafasnya semakin keras, seolah ingin membalas ucapanku namun tak bisa, tangannya terus saja memeras tanganku, semakin kencang, wajahnya memerah, aku lihat tubuhnya semakin lunak, rambutnya yang memutih menunjukkan ia sudah berusia, aku tak tega melihatnya mengerang kesakitan, terbatuk-batuk saat dokter menyerap lendir di aliran pernapasannya agar nafasnya enteng, hal itu dilakukan secara berkala ketika nafasnya terdengar semakin berat, dadanya kembang kempis, nafasku seakan tertarik juga oleh irama nafas kakek, mengoyak-ngoyak detak jantungku. Tujuh belas derajat celcius suhu ruangan tak mempan menahan keringatku mengucur deras menetesi baju hijau ini.Bukannya air mata yang keluar, mestinya itu.Tapi entah mengapa keringat yang terus bercucuran dari wajahku.Aku ikut tenggelam dengan nafas kakekku, ah aku tak tega melihatnya tersiksa ketika lagi disedot lendir di selang yang menuju aliran napasnya.
Aku berusaha menenangkan diri, sejenak berbisik ke telinga kakek, aku memberi semangat, semangat untuk terus sabar menghadapi ujian Allah ini, semangat seperti semangatnya kepadakau setiap aku pulang ketika libur kuliah.Aku masih tak ingin jika terlalu cepat kakek meninggalkanku dan semua keluarga, bahkan cucu-cucunya yang masih belum ngerti apa-apa, yang masih guyon di luar ruangan ini. Ada rasa yang menguatkanku juga saat itu, elusan jempolnya ke tanganku seakan memberi isyarat nasihat kepadaku, walaupun mulut tak bisa bicara, mata terpejam tak kuat membuka mata, satu-satunya yang bisa digerakkan hanya tangan kanannya, ia mampu memberikan nasihat itu, sampai masuk ke ruas sendi-sendi dan sarafku membuat bulu kuduk ini berdiri, genggaman tangannya tak mau dilepaskan. Aku rasa itulah nasihat paling baik yang pernah aku dapati. Aku menenangkan diri kembali sembari mengaji disampingnya, mendoakannya dengan tangan yang terus digenggamnya tanpa henti dielus-elus, pasti ia hapal dengan tanganku, tangan cucunya, aku yakin hal itu.
Aroma ruangan itu membuat aku tak biasa, menggiring pikiran ini jauh ke negatif, obrolan tangannya sudah banyak membuat hati ini semakin tajam saja, memoriku mengajak jalan-jalan ke setiap momen lebaran kami semua anggota keluarga besar selalu melakukan tradisi sungkem bergantian di bawah naungan kakek, setiap anggota keluarga sungkem sambil kakek mengelus kepala kami, memberikan doa, nasihat kepada kami satu per satu, setiap tahun seperti itu. Semoga masih bisa nyambung lebaran tahun depan, harapanku.

Ajal Sudah Tiba
Kalau ada yang bertanya apa yang paling dekat di dunia ini? Jawabannya adalah kematian. Iya, kematian itu paling dekat, paling pasti yang menghadang dengan setia dan sabar di hari depan. Semua makhluk pasti mati.Tidak siapa pun yang membantahnya.Bahkan sekalipun orang itu atheis—tidak percaya adanya Tuhan. Kematian akan menimpa siapa saja, termasuk aku. Tinggal menunggu gilirannya kapan kematian itu akan dipergilirkan kepada kita. Ya Allah, aku tak minta banyak dari-Mu, berikanlah kesembuhan pada kakekku walaupun nantinya kakekku harus lumpuh, tapi aku dan kami sekeluarga masih ingin merawatnya dengan segala yang yang kami mampu, izinkalah kami merawatnya.Doa itu selalu kami lantunkan setiap waktu, dua puluh dua hari di rawat di ICU tak kunjung terlihat tanda membaik, kondisi kakek semakin tak tentu saja, naik-turun. Kini hanya doa saja yang mampu aku bisa berikan, berharap ada keajaiban atas jawaban doa kami. Segala usaha teknis pengobatan medis maupun alternatif sudah dilakukan semaksimal mungkin, tindakan operasi juga terlalu amat beresiko kepada kakek kerena pembuluh darah di otak sudah pecah, hanya doa dan doa. Hanya atas izin Allah lah semua bisa terjadi.
Dua minggu berada di rumah, sering bergantian menunggu menemani anggota keluarga di rumah sakit telah berlalu, aku pun juga harus melakukan kewajibanku kembali masuk kuliah.Maaf kek, aku tak bisa setiap hari menemanimu, aku pergi berangkat kuliah dulu ya kek.
Lima hari masuk kuliah, tepatnya tanggal 20 februari yang lalu sekitar pukul 12:00 WIB kabar itu datang, Izrail telah datang menjemput kakek.Innalillahi wainnailaihirojiun.Ajal sudah tiba, tak seorang pun dapat menolaknya. Selamat jalan kakek, kehidupan masih panjang, selamat beristiharat dengan tenang di alam sana--alam baka sebagai tempat transit sebelum menuju alam kekal akhirat. Terima kasih telah mencurahkan kasih sayangmu kepadaku selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar