Rabu, 28 Oktober 2015
Sebentar
Kamis, 22 Oktober 2015
Melihat
Tulisan ini sebenarnya terinspirasi dari salah satu iklan rokok yang terpampang pada papan reklame pertigaan suatu jalan, yang setiap harinya saya melewati jalan itu untuk pergi-pulang kantor.
Rabu, 21 Oktober 2015
Cerita
Cerita yang terikat pada suatu bendalah yang membuat benda menjadi lebih berharga. Cerita tentang suatu hubungan yang terekam benda lah yang membuat kita lebih bahagia.
Karena ada ceritanya, seorang penggemar Michael Jackson rela merogoh kocek cukup dalam untuk hanya membeli kaos bekas rajanya musik pop itu di suatu lelang. Saya yakin, tentu harganya jauh lebih mahal dengan harga kaos baru termahal di pasar swalayan. Hhe..
Karena Soekarno menyejarah, orang-orang rela berburu barang peninggalannya untuk dikoleksi sebab bernilai ekonomis tinggi, atau hanya sekadar disimpan sebagai pembahagia jiwa.
Saya punya kawan yang suka mengoleksi tanda tangan musisi favoritnya. Tentu karena musisi itu punya cerita. Dan kawan saya itu tau ceritanya. Ia bahkan rela pergi jauh dengan ongkos yang tidak murah, membeli tiket sampai berdesakan agar bisa meminta tanda tangan musisi itu. Mungkin, bagi orang lain yang tidak mengerti ceritanya, kegiatan itu dianggap hanya menghabiskan uang saja.
Begitu kira-kira kekuatan cerita. Nah, saya juga mau cerita tentang gelang dan jam tangan saya ini. Mungkin kata orang, ini barang kesayangan saya, tapi saya sebenarnya tidak punya barang seperti itu.
Ada cerita yang membuat saya tetap memakai jam dan gelang ini. Minggu kemarin saya ke tukang servis jam tangan. Saya ditawari jam baru yang mirip jam ini ketika saya ingin mengganti karet pengaitnya yang putus. Saya pikir, eman kalau misalnya beli lagi yang baru kalau jam ini masih hidup, cuma karetnya yang putus akibat lapuk. Belum lagi, jam ini jadi istimewa karena sebelum pergelangan tangan saya, ada pergelangan tangan orang lain yang sempat jadi tuannya. Ya, jam ini saya beli dari kawan; perempuan; kakak tingkat; mentor saya saat masih jadi calon staf magang lembaga pers kampus. Hhe..
Kebetulan pas saya pinjam, dia bilang kalau mau beli jam baru, karena jam ini jarumnya sudah rusak. Jadi tinggal jam digitalnya saja yang berfungsi. Lalu saya tawar agar dijual dengan harga murah, karena saat itu, saya membutuhkan jam tangan tapi lagi nggak punya uang. Alhamdulillah boleh.. Hha..
Kondisinya sekarang sudah kusam, terakhir saya mengganti baterai dan karetnya. Walaupun begitu, jam ini menyimpan banyak cerita di balik perjalanan saya dan angka digitalnya.
Kedua, gelang ini adalah pemberian kawan saya sebagai oleh-oleh dari Lombok saat ia ke Rinjani. Awalnya saya nggak suka pakai gelang, tapi karena untuk menghargai kawan saya, akhirnya saya pakai. Lalu, entah kenapa saya sekarang jadi lebih percaya diri saja saat menggambar dengan memakai gelang ini. Apa itu juga karena kekuatan cerita? Hhe..
Suwun bro..
Bagaimana dengan barang kesayangan anda? Apakah yang membuat lebih berharga juga karena ceritanya?
Selasa, 20 Oktober 2015
Menghapus yang tidak perlu
Senin, 19 Oktober 2015
Kesetrum
Kejadiannya begitu cepat. Setelah rehat sejenak dari kantor, saya disuruh mbah memasang lampu LED yang baru saja saya bawa dari Malang. Dengan nyawa yang belum terkumpul semua (bangun tidur) saya langsung mencopot lampu yang sudah usang itu, tak ada masalah. Setelah itu saya pasang lampu yang baru. Nah, karena viting lampunya itu terlalu pendek sehingga lampu LED nggak bisa masuk dengan pas, maka saya upayakan agar pas dengan terus memutar lampu sampai masuk ke dalam viting. Tanpa sadar, (karena agak kesal lampu tidak kunjung pas nempel dalam viting) secara refleks tangan kiri saya yang memegangi viting itu menggenggam viting lebih erat dan salah satu jari menyentuh batang tampu LED yang terbuka akibat tidak masuk seluruhnya pada viting. Seketika jrruettt.. aliran listrik menyengat tubuh ini sampai kaki. Saya menjerit.. hhe.. dan seketika juga tangan terlepas. Alhamdulillah.
Sepertinya saya butuh sedikit tambahan darah. Badan jadi bergetar, mata yang mengantuk seketika jadi melek.
Kadang kita juga perlu diingatkan pada situasi setengah mati. Supaya kita lebih bersyukur atas nikmat hidup itu. Termasuk caranya dengan kesetrum-sebuah cara yang tidak saya kehendaki- mungkin ini agar saya juga lebih berhati-hati. Kapanpun, dimanapun.
Kapan anda terakhir mengalami kesetrum? he.he.he..
Minggu, 18 Oktober 2015
Perasaan
Bosan itu perasaan. Seorang pekerja seni harus sanggup menyiksa diri, begitu kira-kira nasihat Putu Wijaya. Dia mendisiplinkan diri dengan kegiatan menulis. Saban hari, dia menulis setiap subuh. Apapun yang terjadi. Dipaksa, dia melawan kebosanannya sendiri. Menyiksa diri.
Kita melawan perasaan. Bahwa perasaan itu harus ditekan. Karena tidak bisa dibunuh, maka ia harus dikendalikan. Meminjam bahasa Buya, perasaan yang saya maksud itu disebut "Hawa" bukan nafsu, sebab dalam kata "nafsu", masih ada pemaknaan nafsu yang baik (nafsu muthmainnah). Mengendalikan perasaan artinya sama dengan mengendalikan Hawa.
Latihan menyiksa diri ini perlu dilakukan. Selain menulis blog, saya memilih kegiatan mencuci sebagai kegiatan meditatif saya. Apa pun yang dilakukan harus sampai pada level meditatif, melawan perasaan. Perasaan bosan.
Pagi ini cucian numpuk, ada yang mau membantu mencuci? Hhe..
Sabtu, 17 Oktober 2015
Pak Te
Jujur. Adalah kata yang mudah diucapkan tapi sulit dilaksanakan. Sebab, jujur membutuhkan keberanian. Atau, jika perkataan saya salah, kita pakai saja "jujur karena benar akan membawa keberanian".
Dua minggu sudah, saya magang di salah satu instansi pemerintah Kota Pasuruan. Waktu yang bisa dianggap cukup untuk mengenali lingkungan kerja termasuk orang-orang yang ada dalam kantor. Sesuai rencana, saya ditempatkan di bagian yang saya inginkan: penagihan dan keberatan pajak. Disana, ada sembilan orang pegawai, satu orang Kabid (Kepala Bidang), dua orang Kasi (Kepala Seksi/ Kepala Sub Bagian), dan enam orang staf.
Pak Te, ya, begitu sapaan akrabnya. Beliau salah satu dari enam orang staf penagihan. Nama lengkapnya Suteja, panggilannya Pak Te. Nama yang sederhana. Hhe..
Saya jadi ingat nama kawan SMP, namanya Teja juga, ketika saya tanyai sejarah nama itu dia bilang Te, berasal dari penggalan nama daerah Ternate, daerah asal bapaknya. Sedang, Ja, berasal dari suku kata Pulau Jawa, tempat lahir ibunya. Jadilah Teja.
Pak Te, panggilan itu tersemat padanya bukan karena akronim atau apa, tapi memang kultur di instansi itulah yang sudah melabelkan nama-nama panggilan yang unik, sederhana dan mudah diingat. Sebut saja disana ada namanya pak Ce (Cahyono). Nama-nama singkat itu sepertinya hanya dimiliki oleh angkatan tua. Salah satunya Pak Te, usianya sudah nggak pagi lagi. Kurang 4 tahun, beliau mengaku sudah akan copot seragam. Lebih pantas sebenarnya saya memanggilnya dengan sebutan "Mbah", tapi karena menghormati posisi beliau di kantor, saya tetap memakai kata "Pak".
Saya suka berdiskusi dengan siapa saja, dari yang anak-anak, kawan sebaya ataupun orang tua. Dengan orang yang lebih tua, biasanya saya lebih banyak mengambil sari pengalaman hidupnya. Sebab, saya anggap mereka yang sudah lebih dulu hidup, lebih dulu telah memakan-meminjam ungkapan salah satu dosen ternama- "asam asin garam kehidupan".
Dari mengenal Pak Te, kecurigaan saya atas perilaku koruptif yang terlabel di instansi pemerintah sepertinya harus saya tarik dulu. Ya, pandangan awam pun saat ini juga tidak akan jauh berbeda dengan saya. Bahwa, Instansi pemerintah sarat dengan perilaku-perilaku koruptif. Setiap hari kita disuguhkan kabar tentang tertangkapnya pejabat pegawai negeri sipil karena korupsi. Tidak mengherankan jika saya punya pandangan demikian. Mengingat, wilayah-wilayah profesi macam PNS, pejabat politik, merupakan lahan basah dan rawan KKN.
Syukurlah, saya berada di tempat itu, setidaknya walau bukan semua, saya masih temui orang-orang jujur. Setiap hari, pekerjaan Pak Te kebanyakan di luar kantor, melakukan penagihan pajak dan saya sering ikut beliau. Dalam penagihan pajak ini, Wajib Pajak yang belum/tidak membayar sendiri ke kantor, akan diberikan Surat Tagihan Pajak (STP). Dan yang menyampaikan STP adalah petugas penagih pajak. Biasanya, Wajib Pajak enggan membayar pajak sendiri dengan datang ke kantor. Saat disampaikan STP di rumah atau tempat usahanya, mereka merasa sangat terbantu oleh kedatangan petugas. Ketika menerima STP, mereka biasanya langsung "membayar". Dalam artian Wajib Pajak menitipkan uang pajak ke petugas. Selanjutnya petugaslah yang membayarkan ke kantor pajak. Sebenarnya, pada kasus ini, sistem pemungutannya memakai self assessment yakni Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk menyetor, membayar, dan melaporkan pajaknya sendiri.
Menitipkan uang pajak kepada petugas inilah yang jadi wilayah potensi perilaku koruptif.
Kecurigaan saya luntur ketika tiap hari saya jalan dengan Pak Te ini, beliau tidak mau sepeser pun menerima/mengambil/memakai yang bukan haknya. Beliau waspada jika nanti sampai masyarakat menganggap petugas itu bisa dibeli, termasuk dirinya juga akan tidak dipercaya masyarakat. Setiap kata yang terucapnya akan di abaikan orang lain. "jujur itu penting le, supoyo omongan iku metu ajine" , begitu wejangannya kepada saya.
Pak Te, di kalangan masyarakat dikenal orang yang jujur, mudah bergaul. Betapa tidak, dimanapun saya pergi sama beliau, setiap kali lewat warung atau tempat makan di jalan di sapa, kita di ajak untuk makan (gratis). Hhe..
Pak Te, saya mau main ke rumah njenengan di minggu-minggu ini, tapi karena ada acara di Malang, saya tunda sebentar ya. Hhe.. Semoga njenengan sehat selalu
Jumat, 16 Oktober 2015
Waktu
Ada orang yang merasa hidupnya selalu dikejar-kejar waktu. Tidak sabaran menunggu lampu merah berubah jadi hijau ketika di jalan misalnya, sehingga saat masih lampu baru mulai berganti, bunyi klakson sudah bersiul-siulan. Seolah yang belakang berteriak "woy.. Yang depan buruan, gua mau lewat nih". Padahal, toh juga sama saja, ketika lampu hijau, semua pengendara juga akan melaju satu-persatu, walaupun tanpa ada bunyi klakson-klakson itu.
Seringkali kita merasa diburu waktu, seolah waktu selalu habis. Kita sedih, merasa waktu begitu cepat berlalu. Tapi, pernahkah kita berhenti sejenak bertanya, apa sesungguhnya waktu itu?
Konsep waktu tidak sesederhana seperti kita melihat pukul berapa sekarang menurut jam tangan yang ada di pergelangan. Waktu bukanlah gerakan jarum atau angka di jam digital anda. Nah, ternyata ini semua soal pemaknaan kita terhadap konsep waktu.
Dulu, konsep waktu diciptakan manusia untuk mempermudah hidup. Misal, ketika membuat janji dengan orang lain, merencanakan suatu tindakan, atau sebagai penanda suatu peristiwa yang telah terjadi.
Kemudian, mengenai persepsi terhadap waktu. Kemampuan mempersepsi waktu inilah yang membedakan manusia diantara yang lainnya, menunjukkan kualitas bagaimana ia beradaptasi dengan lingkungannya.
Misalnya, saat kita berhadapan dengan kemacetan di jalan, kita akan merasa waktu bergerak sangat lambat. Detik berasa jam.. Hhe
Apalagi jika tujuan kita itu sifatnya urgent. Sebaliknya, saat berlibur, tanpa terasa waktu tiba-tiba habis dan kita harus cepat pulang. Dua hal itu menunjukkan durasi waktu itu bersifat subjektif. Tergantung emosi kita. Kenapa bisa begitu?
Menurut penelitian, persepsi kita terhadap waktu itu dipengaruhi oleh serangkaian proses fisiologis dan kognitif sehingga persepsi kita terhadap waktu itu jadi bias. Menurut Prof Dan Zakay, seorang ahli psiko kognitif, bahwa manusia memiliki kewaspadaan terhadap lintasan waktu yang dipengaruhi tuntutan atensi. Misal, saat kita menghadiri acara yang membosankan, perhatian (atensi) kita terhadap durasi waktu akan menjadi tinggi, kita terfokus pada waktu. Sehingga durasi waktu terasa lebih panjang. Sebaliknya saat kita liburan, kita tidak lagi memberikan atensi yang berlebihan terhadap waktu. Sehingga pagar atensi itu menyempit dan waktu berjalan seakan lebih cepat. Padahal dalam realitas, waktu itu bersifat netral terhadap aktivitas. Aktivitas hanya membutuhkan durasi, durasi itu lalu diukur dengan satuan tempo: detik, menit, jam. Sedangkan "lama atau cepat", itu adalah label yang kita buat sendiri tergantung suasana emosi. Jangan bersedih..
Lalu bagaimana cara kita mempersepsi waktu yang lebih panjang sekaligus menikmati kegiatan tanpa diburu waktu?
Cobalah memberikan atensi pada stimuasi internal (napas) anda, dengan begitu, semoga persepsi kita terhadap waktu menjadi luas. Kita tidak merasa dikejar waktu, sekaligus kita mampu mengalokasikan lebih banyak sumber daya atensi untuk menyelesaikan tugas-tugas kita. Dan kita mampu menikmati selama prosesnya.
Nah, apakah pagi ini anda sedang buru-buru pergi ke kampus/ kantor? Hhe..
Selamat pagi..
Kamis, 15 Oktober 2015
Multitasking
Rabu, 14 Oktober 2015
Hukum Alam
Socrates pernah berkata, "Alam adalah manusia besar, dan manusia adalah alam kecil".
Kabarnya, hukum alam merupakan hukum tertua yang lebih dulu ada sebelum semua jenis hukum. Hukum itu seperti halnya, manusia tidak bisa bertahan hidup lama ketika menyelam di dalam air, sebab hukum itu diberikan pada ikan. Tidak bisa manusia terbang (tanpa alat), sebab hukum itu telah diberikan kepada burung. Ia adalah hukum kekekalan, siapa saja yang ingin kekal, maka kita hendak disuruh meneladaninya. Siapa yang menentangnya, dia akan mati. Seperti manusia tidak dapat hidup dalam kotak kayu tanpa ada celah udara yang masuk ke dalam kotak. Akhirnya kita hidup di garis hukum alam yang telah ditetapkanNya.
Hukum alam juga tak lekang oleh zaman. Sedang hukum manusia selalu berubah sesuai tafsir menurut kepentingannya.
Sampai saat ini, mungkin saya harus cukup merasa puas tentang mengapa ada orang yang hidupnya secara materi berkelimpahan, sedang banyak yang lain terpaksa hidup di bawah kemelaratan. Tentu itu bukan takdir Tuhan. Melainkan akibat hukum alam, hukum yang diciptakan Tuhan. Karena akibat, kita lalu mencari sebab, dari sebab itulah kita mendapati musabab.
Hari ini saya melihat kemelaratan- pengemis kecil yang selalu meramaikan perempatan lampu abang. Di mall, saya melihat orang sedang menjajakan berlian hanya untuk mereka yang ber-uang.
Apa ada yang salah dengan pemandangan semacam itu? Saya tidak hendak menghujat hukum alam. Sebab, "alam kecil' ini lah yang pantas ditanyai perkara itu.
Bagaimana pendapat anda soal pemandangan tangan renta yang tiba-tiba menjulurkan tangannya di depan anda?
Senyumannya telah berkata-kata tanpa ia bersuara.
Selasa, 13 Oktober 2015
Senin, 12 Oktober 2015
Pungtuasi
Bahasa terdiri dari dua aspek: bentuk dan makna. Dalam hal bahasa lisan yang disalin ke bahasa tulis, ada beberapa aspek yang tidak dapat dengan mudah di 'terjemahkan' ke bahasa tulis, misalnya intonasi (unsur suprasegmental). Intonasi atau penekanan suara dapat dengan mudah disampaikan lewat bahasa lisan. Maka aspek makna dapat dengan mudah dipahami. Berbeda dengan bahasa tulis, intonasi suara tidak tersurat pada aspek bentuk: fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat dan wacana (unsur segmental). Kemudian diciptakanlah pungtuasi atau tanda-tanda baca sebagai hasil usaha menggambarkan "unsur suprasegmental" yang tidak dapat digambarkan di bahasa tulis tadi.
Saya punya pengalaman menarik soal pungtuasi ini. Walaupun sepertinya hal yang remeh-temeh, tapi jika kita tidak pandai menggunakannya secara sadar, bisa saja komunikasi kita terhadap orang lain tidak berjalan dengan efektif -- bahasa atau maksud kita menjadi sulit dipahami oleh orang lain-- di dalam komunikasi bahasa tulis seperti SMS atau layanan chatting.
Misalnya, ketika saya sedang ingin bercanda dengan salah seorang kawan dengan menggunakan "nada" bicara seolah-olah menuntut kawan itu untuk bisa menjawab pertanyaan saya. Tapi, keterbatasan saya menggunakan pungtuasi itu atau karena saya mengabaikan peranannya di bahasa tulis, akhirnya, "nada" bercanda itu tidak tersampaikan. Alhasil, kawan itu marah-marah kepada saya karena cara saya bertanya menurutnya adalah tidak sopan. Haduh!
Mungkin akan berbeda jadinya jika itu disampaikan lewat bahasa lisan. Akan menjadi efektif, karena lawan bicara juga akan membaca air muka (ekspresi wajah, kerutan alis, nada bicara) saya.
Perkembangan teknologi sekarang sebenarnya juga sangat membantu pola komunikasi kita sehari-hari. Ekspresi kita telah difasilitasi oleh emoticon-emoticon yang unik dan tiap hari tambah banyak. Sejak booming-nya aplikasi chatting, emoticon telah ber-evolusi menjadi karakter-karakter lucu dan unik. Tapi, entah sebenarnya emoticon unik-unik itu apakah juga secara fungsional dikategorikan sebagai pungtuasi--membantu mengejawantahkan unsur suprasegmental yang tak terbaca dalam teks biasa-- dalam bahasa tulis.
Nah, apakah anda termasuk orang yang sering menggunakan emoticon saat chatting?
Kalau saya sih jarang memakainya. Saya sering memakai dua titik di akhir kalimat saya ketika sms atau chatting. Jika satu titik dipakai untuk mengakhiri kalimat (komunikasi), dua titik artinya adalah saya masih ingin melanjutkan chatting (makna yang saya buat sendiri) bukan makna sebagai konsensus yang telah disepakati banyak orang. Hhe.. Maka pungtuasi dalam kasus ini, munurut saya bersifat arbitrer. Lalu saya gunakan sebagai identitas saya ketika berkomunikasi non formal via chatting supaya tidak mudah dibajak orang lain. Hhe..
Kalau anda seperti apa?
Minggu, 11 Oktober 2015
Sibuk!
Minggu ini jadi sibuk betulan lalu jadi terlalu lama nggak nulis di sini. Hhe..(masih saja beralasan) tadinya mau berhenti nulis disini, tapi ada salah satu kawan yang menurut pengakuannya tulisanku disini bukan tulisan bodong atau sampah. Jadi lebih baik terus nulis, begitu katanya.
Oke, minggu depan sepertinya juga akan sibuk, alhamdulillah penggarapan majalah kampus rampung dengan serentetan rintangan yang ada. Sekarang, tinggal tunggu hasil cetak.. Semoga lancar sesuai harapan.
Selanjutnya apalagi?
Agenda organisasi masih lumayan banyak, saya masih harus merampungkan baca beberapa buku minggu ini, dan menulis resensi dari salah satunya. Lusa harus bolak-balik Malang-Pasuruan karena ada janji dengan dosen pembimbing magang. Sekaligus pengajuan judul & konsultasi skripsi. Hadeh..
Satu lagi, bulan oktober (momen sumpah Pemuda) mau buat sesuatu, masih berencana. Tunggu tanggal mainnya. Hhi..
Jangan Ngeluh
Sub judulnya sudah jelas. Jadi masuk di paragraf ini nggak usah terlalu banyak karakter. Semoga dengan judul "sibuk!" Ini tidak membuat saya berhenti nge-blog.. Oke, ini bukan kalimat keluhan kan? Hhe..
Apakah anda juga "sibuk!"?