Rabu, 28 Oktober 2015

Sebentar

Tak semua hal harus berguna dan berfaedah. “makan permen karet sambil menyanyi juga tak ada manfaatnya. Tapi toh tetap saja dilakukan.” Kegembiraan kecil, kesenangan remeh-temeh, rasa suka cita yang walaupun hanya hadir sekejap, tidak pernah sia-sia.

Hari sabtu dan minggu kemarin saya pulang ke kampung halaman. Tidak banyak aktvitas di rumah. Tapi, bisa bertemu dengan keluarga walaupun hanya sebentar, itu sudah jadi kebahagiaan tersendiri.
Hari Sabtu, malamnya saya menghadiri acara pertunjukan seni di salah satu kampus terbesar di Jember, Jawa Timur. Saya diajak teman saya, sendirian. Awalnya saya ingin mendokumentasikan acara itu dalam muatan berita. Tapi, saat acara berlangsung, tidak boleh ada perangkat gawai yang hidup untuk sekadar “memotret”. Alhasil, saya matikan HP dan fokus hanya untuk menonton pertunjukan monolog itu. Saya hanya duduk dan menikmatinya.



Kamis, 22 Oktober 2015

Melihat

Cara kita melihat sesuatu pastilah berbeda, walaupun objek yang dilihat itu sama. Dari melihat, kita mendapatkan yang kasat mata dan mendapatkan yang tak ditangkap oleh mata, persepsi!
Tulisan ini sebenarnya terinspirasi dari salah satu iklan rokok yang terpampang pada papan reklame pertigaan suatu jalan, yang setiap harinya saya melewati jalan itu untuk pergi-pulang kantor.

Poster iklan rokok itu digambarkan ada tiga orang pemuda yang sedang tertawa dengan background sebuah kota yang penuh sesak gedung pinggir pantai. Gambar itu bertuliskan “Ubah caramu melihat dunia”. Entah tulisan itu dimaksudkan apa oleh sang pembuat poster. Tapi sengaja tidak sengaja, ketika saya lewat pertigaan jalan tersebut, pandangan mata saya tersita papan reklame yang cukup besar itu. Dan secara sengaja atau tidak sengaja pula, pikiran saya secara refleks membaca tulisan itu. Setiap hari!

Setiap pagi, setiap sore. Setiap jam pergi-pulang kantor.  Saya semacam dipaksa membaca tulisan poster iklan itu. Padahal si pembuat poster juga tidak memerintahkan setiap orang yang melintasi reklame itu untuk membacanya, misal dengan keterangan “Penting, Wajib Dibaca”. Tetap saja saya dan banyak orang yang lain membacanya. Hhe..

Lama-kelamaan, karena saya mengonsumsi tulisan itu dua kali sehari, tulisan itu semacam telah jadi sugesti. “Ubah caramu melihat dunia”.

Setiap hari kok disuruh mengubah cara melihat? Papan reklame tempat poster itu juga tetap sama, tetap akan disitu tidak berpindah. Pertama, saya nggak sepakat sama tulisan itu. Memangnya cara saya melihat kenapa? Ada yang salah sehingga kudu saya ubah? Papan reklame itu hanya terdiam terpaku di tempatnya. (Hanya diskusi imajiner) Hhe..

Dari diskusi imajiner itulah, saya jadi harus mencari jawabannya sendiri. Memang masalah, biasanya timbul sebab oleh cara pandang kita sendiri. Kita jarang melihat dengan “apa adanya”. Misalnya, saya pernah marah di salah satu SPBU ketika sedang antre mengisi bensin. Saat itu, di SPBU terjadi antrean yang mengular sampai jalan raya, dan pada saat giliran kendaraan saya, tiba-tiba seorang perempuan nyelonong dari samping kanan saya nyelip masuk ke barisan antrean depan saya. Bagaimana nggak jengkel, lah wong  lainnya setia antre di belakang, orang ini seenaknya nggak mau antre. Lalu orang itu saya tegur. Mbak-mbak SPBU nya juga saya tegur. Tapi mereka berdua semacam menutup kupingnya. Sontak, pengendara yang antre di belakang saya juga teriak, mereka memperhatikan saya. Seolah menyuruh saya melabrak dua cewek itu. Tapi mbak-mbak itu tetap saja tidak memperdulikan saya dan yang lain. Dan begitu cepat, orang di depan saya itu langsung pergi cepat-cepat setelah kendaraannya terisi. Assemm..

Ya, banyak manusia yang melihat secara tidak apa adanya. Saya termasuk orang pendendam kala itu. Saya sulit melupakan kesalahan orang lain yang membuat saya marah. Sekalipun dia telah meminta maaf. Orang yang nyelonong  itu termasuk orang yang cara melihatnya dengan tidak apa adanya, ia nggak peduli sama antrean. Nggak punya rasa malu dan penghormatan terhadap hak orang lain. Artinya dia juga tidak bisa menghormati dirinya sendiri.

Mbak petugas SPBU, setali tiga uang dengan orang nyelonong itu. Tidak bisa melihat dengan apa adanya. Ia tidak memperhatikan antrean, siapa yang lebih dulu dan yang harus didahulukan. Ah mungkin dia petugas baru, jadi belum diajari bagaimana menghadapi pelanggan.
Atas kejadian itu, saya kesal sekali. Kalaupun saya diberi kesempatan membalasnya, saya kepengen  orang yang nyelonong itu ada di posisi saya yang diserobot saat antrean, dan yang menyerobot adalah saya sendiri. Ah, artinya kalau saya seperti itu, apa bedanya dengan cewek tadi.
Bayangkan kalau misalnya anda di posisi saya? Apakah wajar jika tak emosi?

Di sisi lain, ternyata cara saya melihat dunia juga tidak dengan apa adanya. Saya tidak melihat, mungkin orang yang nyelonong tadi sedang panik, buru-buru untuk urusan yang sangat mendesak, misalnya mengantarkan keluarganya yang sedang sekarat, sehingga dia tidak memerdulikan panjangnya antrean, termasuk tidak memerdulikan ocehan saya. Mungkin mbak petugas SPBU saat itu sedang nggak konsentrasi, karena berjaga sendirian sedangkan dia harus melayani dua sisi antara sepeda motor dan mobil secara bergantian. Sehingga dia tidak memerhatikan saya yang seharusnya menurut antrean harusnya lebih didahulukan ketimbang orang yang nyerobot tadi. Memang saya tidak melihat kemungkinan-kemungkinan yang  tidak terlihat itu. Yang tampak oleh mata saya saat itu, adalah ketidakbenaran terjadi, kezaliman (sesuatu yang tidak pada tempatnya) sedang terjadi dan patut diluruskan. Maka saya tidak boleh diam.

Akhirnya saya harus melihat dengan apa adanya. Inilah realitas. Sesuatu yag tidak kita harapakan bisa terjadi. Mau tidak mau, senang tidak senang saya harus menerimanya. Jika saya menolaknya, masalah akan timbul. Saya sakit hati, dendam dan masalah itu bisa jadi penyakit.

Dari situ saya mulai dilatih bagaimana mengubah cara melihat dunia. Melihat dunia dengan apa adanya.

Lalu, bagaimana cara sampeyan melihat dunia?




Rabu, 21 Oktober 2015

Cerita

Cerita yang terikat pada suatu bendalah yang membuat benda menjadi lebih berharga. Cerita tentang suatu hubungan yang terekam benda lah yang membuat kita lebih bahagia.

Karena ada ceritanya, seorang penggemar Michael Jackson rela merogoh kocek cukup dalam untuk hanya membeli kaos bekas rajanya musik pop itu di suatu lelang. Saya yakin, tentu harganya jauh lebih mahal dengan harga kaos baru termahal di pasar swalayan. Hhe.. 
Karena Soekarno menyejarah, orang-orang rela berburu barang peninggalannya untuk dikoleksi sebab bernilai ekonomis tinggi, atau hanya sekadar disimpan sebagai pembahagia jiwa.

Saya punya kawan yang suka mengoleksi tanda tangan musisi favoritnya. Tentu karena musisi itu punya cerita. Dan kawan saya itu tau ceritanya. Ia bahkan rela pergi jauh dengan ongkos yang tidak murah, membeli tiket sampai berdesakan agar bisa meminta tanda tangan musisi itu. Mungkin, bagi orang lain yang tidak mengerti ceritanya, kegiatan itu dianggap hanya menghabiskan uang saja.

Begitu kira-kira kekuatan cerita. Nah, saya juga mau cerita tentang gelang dan jam tangan saya ini. Mungkin kata orang, ini barang kesayangan saya, tapi saya sebenarnya tidak punya barang seperti itu.

Ada cerita yang membuat saya tetap memakai jam dan gelang ini. Minggu kemarin saya ke tukang servis jam tangan. Saya ditawari jam baru yang mirip jam ini ketika saya ingin mengganti karet pengaitnya yang putus. Saya pikir, eman kalau misalnya beli lagi yang baru kalau jam ini masih hidup, cuma karetnya yang putus akibat lapuk. Belum lagi, jam ini jadi istimewa karena sebelum pergelangan tangan saya, ada pergelangan tangan orang lain yang sempat jadi tuannya. Ya, jam ini saya beli dari kawan; perempuan; kakak tingkat; mentor saya saat masih jadi calon staf magang lembaga pers kampus. Hhe..
Kebetulan pas saya pinjam, dia bilang kalau mau beli jam baru, karena jam ini jarumnya sudah rusak. Jadi tinggal jam digitalnya saja yang berfungsi. Lalu saya tawar agar dijual dengan harga murah, karena saat itu, saya membutuhkan jam tangan tapi lagi nggak punya uang. Alhamdulillah boleh.. Hha..
Kondisinya sekarang sudah kusam, terakhir saya mengganti baterai dan karetnya. Walaupun begitu, jam ini menyimpan banyak cerita di balik perjalanan saya dan angka digitalnya.

Kedua, gelang ini adalah pemberian kawan saya sebagai oleh-oleh dari Lombok saat ia ke Rinjani. Awalnya saya nggak suka pakai gelang, tapi karena untuk menghargai kawan saya, akhirnya saya pakai. Lalu, entah kenapa saya sekarang jadi lebih percaya diri saja saat menggambar dengan memakai gelang ini. Apa itu juga karena kekuatan cerita? Hhe..
Suwun bro..

Bagaimana dengan barang kesayangan anda? Apakah yang membuat lebih berharga juga karena ceritanya?


Selasa, 20 Oktober 2015

Menghapus yang tidak perlu


Menyimpan sesuatu yang tidak perlu itu tidak bijak. Segala barang belum tentu penting menurut kita, dan kita tidak harus menyimpannya. Misalnya, apakah kita setelah nonton film (di laptop)  lalu filmnya tidak dihapus? Katakanlah karena mungkin kita nanti akan melihatnya lagi, jadi film itu tidak kita hapus dari dalam komputer. Tapi setelah berbulan-bulan, apakah benar kita akan melihatnya lagi? Bisa iya bisa tidak. Bagi yang hobby menonton film, mungkin dalam sebulan atau dua bulan, berapa memory yang dihabiskan untuk menyimpan file film. Padahal film itu setelah di tonton belum tentu dilihat lagi.

Akhirnya, memory penyimpanan komputer kita cepat habis, karena file film biasanya yang berkapasitas besar ketimbang jenis file yang lain, sehingga memakan jatah paling banyak memory hardisk komputer. Dan terkadang, membuat komputer kita lemot. Sama halnya dengan pikiran kita, memory jangka pendek kita punya keterbatasan. Kapasitas mengingat kita juga terbatas. Setiap harinya, ribuan sel otak mati lalu digantikan oleh sel baru.

Kalau dalam cerita Sherlock holmes, dia mengibaratkan pikiran manusia itu seperti loteng, tempat menyimpan barang. Semakin hari barang yang kita simpan dalam loteng semakin banyak, dan semakin banyak barang yang tidak perlu di dalam loteng, menyebabkan kita kesulitan mencari barang yang kita perlukan. Artinya, jika semakin banyak sesuatu yang tidak kita perlukan masuk dalam pikiran kita, maka itu akan mengganggu kita dalam mengakses informasi yang kita butuhkan. Jadi semua informasi belum tentu penting. Bahkan, sherlock holmes pernah berkata bahwa, pengetahuan tentang bumi yang bulat itu tidaklah penting, sebab baginya, informasi itu tidak memberikan dampak langsung terhadap penyelesaian pekerjaannya.

Saya jadi ingat, ternyata banyak informasi sampah yang ada di laptop saya, termasuk film-film yang sudah saya tonton. Mau dihapus kok eman­, nggak dihapus juga nyampah—menghabiskan banyak memory. Karena nggak punya hardisk eksternal, jadi lebih baik saya hapus aja beberapa. Hhe..
Kalau di komputer, mungkin kita bisa gunakan pengaturan Disk defragmenter untuk menata ulang hard drive dan fungsi clean up agar performa komputer kita tetap optimal.

Apakah laptop anda juga sering lemot?  Coba periksakanlah ke dokter (tukang servis computer). Hhe..






Senin, 19 Oktober 2015

Kesetrum

Hari ini masih menjadi hari ini untuk saya terus hidup. Sore tadi saya kesetrum, beruntunglah nyawa masih di kandung badan. Hhe..
Kejadiannya begitu cepat. Setelah rehat sejenak dari kantor, saya disuruh mbah memasang lampu LED yang baru saja saya bawa dari Malang. Dengan nyawa yang belum terkumpul semua (bangun tidur) saya langsung mencopot lampu yang sudah usang itu, tak ada masalah. Setelah itu saya pasang lampu yang baru. Nah, karena viting lampunya itu terlalu pendek sehingga lampu LED nggak bisa masuk dengan pas, maka saya upayakan agar pas dengan terus memutar lampu sampai masuk ke dalam viting. Tanpa sadar, (karena agak kesal lampu tidak kunjung pas nempel dalam viting) secara refleks tangan kiri saya yang memegangi viting itu menggenggam viting lebih erat dan salah satu jari menyentuh batang tampu LED yang terbuka akibat tidak masuk seluruhnya pada viting. Seketika jrruettt.. aliran listrik menyengat tubuh ini sampai kaki. Saya menjerit.. hhe.. dan seketika juga tangan terlepas. Alhamdulillah.

Sepertinya saya butuh sedikit tambahan darah. Badan jadi bergetar, mata yang mengantuk seketika jadi melek.

Kadang kita juga perlu diingatkan pada situasi setengah mati. Supaya kita lebih bersyukur atas nikmat hidup itu. Termasuk caranya dengan kesetrum-sebuah cara yang tidak saya kehendaki- mungkin ini agar saya juga lebih berhati-hati. Kapanpun, dimanapun.

Kapan anda terakhir mengalami kesetrum? he.he.he..

Minggu, 18 Oktober 2015

Perasaan

Bosan itu perasaan. Seorang pekerja seni harus sanggup menyiksa diri, begitu kira-kira nasihat Putu Wijaya. Dia mendisiplinkan diri dengan kegiatan menulis. Saban hari, dia menulis setiap subuh. Apapun yang terjadi. Dipaksa, dia melawan kebosanannya sendiri. Menyiksa diri.

Kita melawan perasaan. Bahwa perasaan itu harus ditekan. Karena tidak bisa dibunuh, maka ia harus dikendalikan. Meminjam bahasa Buya, perasaan yang saya maksud itu disebut "Hawa" bukan nafsu, sebab dalam kata "nafsu", masih ada pemaknaan nafsu yang baik (nafsu muthmainnah). Mengendalikan perasaan artinya sama dengan mengendalikan Hawa.

Latihan menyiksa diri ini perlu dilakukan. Selain menulis blog, saya memilih kegiatan mencuci sebagai kegiatan meditatif saya. Apa pun yang dilakukan harus sampai pada level meditatif, melawan perasaan. Perasaan bosan.

Pagi ini cucian numpuk, ada yang mau membantu mencuci? Hhe..

Sabtu, 17 Oktober 2015

Pak Te

Jujur. Adalah kata yang mudah diucapkan tapi sulit dilaksanakan. Sebab, jujur membutuhkan keberanian. Atau, jika perkataan saya salah, kita pakai saja "jujur karena benar akan membawa keberanian".

Dua minggu sudah, saya magang di salah satu instansi pemerintah Kota Pasuruan. Waktu yang bisa dianggap cukup untuk mengenali lingkungan kerja termasuk orang-orang yang ada dalam kantor. Sesuai rencana, saya ditempatkan di bagian yang saya inginkan: penagihan dan keberatan pajak. Disana, ada sembilan orang pegawai, satu orang Kabid (Kepala Bidang), dua orang Kasi (Kepala Seksi/ Kepala Sub Bagian), dan enam orang staf.

Pak Te, ya, begitu sapaan akrabnya. Beliau salah satu dari enam orang staf penagihan. Nama lengkapnya Suteja, panggilannya Pak Te. Nama yang sederhana. Hhe..
Saya jadi ingat nama kawan SMP, namanya Teja juga, ketika saya tanyai sejarah nama itu dia bilang Te, berasal dari penggalan nama daerah Ternate, daerah asal bapaknya. Sedang, Ja, berasal dari suku kata Pulau Jawa, tempat lahir ibunya. Jadilah Teja.

Pak Te, panggilan itu tersemat padanya bukan karena akronim atau apa, tapi memang kultur di instansi itulah yang sudah melabelkan nama-nama panggilan yang unik, sederhana dan mudah diingat. Sebut saja disana ada namanya pak Ce (Cahyono). Nama-nama singkat itu sepertinya hanya dimiliki oleh angkatan tua. Salah satunya Pak Te, usianya sudah nggak pagi lagi. Kurang 4 tahun, beliau mengaku sudah akan copot seragam. Lebih pantas sebenarnya saya memanggilnya dengan sebutan "Mbah", tapi karena menghormati posisi beliau di kantor, saya tetap memakai kata "Pak".

Saya suka berdiskusi dengan siapa saja, dari yang anak-anak, kawan sebaya ataupun orang tua. Dengan orang yang lebih tua, biasanya saya lebih banyak mengambil sari pengalaman hidupnya. Sebab, saya anggap mereka yang sudah lebih dulu hidup, lebih dulu telah memakan-meminjam ungkapan salah satu dosen ternama- "asam asin garam kehidupan".

Dari mengenal Pak Te, kecurigaan saya atas perilaku koruptif yang terlabel di instansi pemerintah sepertinya harus saya tarik dulu. Ya,   pandangan awam pun saat ini juga tidak akan jauh berbeda dengan saya. Bahwa, Instansi pemerintah sarat dengan perilaku-perilaku koruptif. Setiap hari kita disuguhkan kabar tentang tertangkapnya pejabat pegawai negeri sipil karena korupsi. Tidak mengherankan jika saya punya pandangan demikian. Mengingat, wilayah-wilayah profesi macam PNS, pejabat politik, merupakan lahan basah dan rawan KKN.

Syukurlah, saya berada di tempat itu, setidaknya walau  bukan semua, saya masih temui orang-orang jujur. Setiap hari, pekerjaan Pak Te kebanyakan di luar kantor, melakukan penagihan pajak dan saya sering ikut beliau. Dalam penagihan pajak ini, Wajib Pajak yang belum/tidak membayar sendiri ke kantor, akan diberikan Surat Tagihan Pajak (STP). Dan yang menyampaikan STP adalah petugas penagih pajak. Biasanya, Wajib Pajak enggan membayar pajak sendiri dengan datang ke kantor. Saat disampaikan STP di rumah atau tempat usahanya, mereka merasa sangat terbantu oleh kedatangan petugas. Ketika menerima STP, mereka biasanya langsung "membayar". Dalam artian Wajib Pajak menitipkan uang pajak ke petugas. Selanjutnya petugaslah yang membayarkan ke kantor pajak. Sebenarnya, pada kasus ini, sistem pemungutannya memakai self assessment yakni Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk menyetor, membayar, dan melaporkan pajaknya sendiri.
Menitipkan uang pajak kepada petugas inilah yang jadi wilayah potensi perilaku koruptif.

Kecurigaan saya luntur ketika tiap hari saya jalan dengan Pak Te ini, beliau tidak mau sepeser pun menerima/mengambil/memakai yang bukan haknya. Beliau waspada jika nanti sampai masyarakat menganggap petugas itu bisa dibeli, termasuk dirinya juga akan tidak dipercaya masyarakat. Setiap kata yang terucapnya akan di abaikan orang lain. "jujur itu penting le, supoyo omongan iku metu ajine" , begitu wejangannya kepada saya.

Pak Te, di kalangan masyarakat dikenal orang yang jujur, mudah bergaul. Betapa tidak, dimanapun saya pergi sama beliau, setiap kali lewat warung atau tempat makan di jalan di sapa, kita di ajak untuk makan (gratis). Hhe..

Pak Te, saya mau main ke rumah njenengan di minggu-minggu ini, tapi karena ada acara di Malang, saya tunda sebentar ya. Hhe.. Semoga njenengan sehat selalu

Jumat, 16 Oktober 2015

Waktu

Ada orang yang merasa hidupnya selalu dikejar-kejar waktu. Tidak sabaran menunggu lampu merah berubah jadi hijau ketika di jalan misalnya, sehingga saat masih lampu baru mulai berganti, bunyi klakson sudah bersiul-siulan. Seolah yang belakang berteriak "woy.. Yang depan buruan, gua mau lewat nih". Padahal, toh juga sama saja, ketika lampu hijau, semua pengendara juga akan melaju satu-persatu, walaupun tanpa ada bunyi klakson-klakson itu.

Seringkali kita merasa diburu waktu, seolah waktu selalu habis. Kita sedih, merasa waktu begitu cepat berlalu. Tapi, pernahkah kita berhenti sejenak bertanya, apa sesungguhnya waktu itu?

Konsep waktu tidak sesederhana seperti kita melihat pukul berapa sekarang menurut jam tangan yang ada di pergelangan. Waktu bukanlah gerakan jarum atau angka di jam digital anda. Nah, ternyata ini semua soal pemaknaan kita terhadap konsep waktu.

Dulu, konsep waktu diciptakan manusia untuk mempermudah hidup. Misal, ketika membuat janji dengan orang lain, merencanakan suatu tindakan, atau sebagai penanda suatu peristiwa yang telah terjadi.

Kemudian, mengenai persepsi terhadap waktu. Kemampuan mempersepsi waktu inilah yang membedakan manusia diantara yang lainnya, menunjukkan kualitas bagaimana ia beradaptasi dengan lingkungannya.

Misalnya, saat kita berhadapan dengan kemacetan di jalan, kita akan merasa waktu bergerak sangat lambat. Detik berasa jam.. Hhe
Apalagi jika tujuan kita itu sifatnya urgent. Sebaliknya, saat berlibur, tanpa terasa waktu tiba-tiba habis dan kita harus cepat pulang. Dua  hal itu menunjukkan durasi waktu itu bersifat subjektif. Tergantung emosi kita. Kenapa bisa begitu?

Menurut penelitian, persepsi kita terhadap waktu itu dipengaruhi oleh serangkaian proses fisiologis dan kognitif sehingga persepsi kita terhadap waktu itu jadi bias. Menurut Prof Dan Zakay, seorang ahli psiko kognitif, bahwa manusia memiliki kewaspadaan terhadap lintasan waktu yang dipengaruhi tuntutan atensi. Misal, saat kita menghadiri acara yang membosankan, perhatian (atensi) kita terhadap durasi waktu akan menjadi tinggi, kita terfokus pada waktu. Sehingga durasi waktu terasa lebih panjang. Sebaliknya saat kita liburan, kita tidak lagi memberikan atensi yang berlebihan terhadap waktu. Sehingga pagar atensi itu menyempit dan waktu berjalan seakan lebih cepat. Padahal dalam realitas, waktu itu bersifat netral terhadap aktivitas. Aktivitas hanya membutuhkan durasi, durasi itu lalu diukur dengan satuan tempo: detik, menit, jam. Sedangkan "lama atau cepat", itu adalah label yang kita buat sendiri tergantung suasana emosi. Jangan bersedih..

Lalu bagaimana cara kita mempersepsi waktu yang lebih panjang sekaligus menikmati kegiatan tanpa diburu waktu?

Cobalah memberikan atensi pada stimuasi internal (napas) anda, dengan begitu, semoga persepsi kita terhadap waktu menjadi luas. Kita tidak merasa dikejar waktu, sekaligus kita mampu mengalokasikan lebih banyak sumber daya atensi untuk menyelesaikan tugas-tugas kita. Dan kita mampu menikmati selama prosesnya.

Nah, apakah pagi ini anda sedang buru-buru pergi ke kampus/ kantor? Hhe..

Selamat pagi..

Kamis, 15 Oktober 2015

Multitasking

Apakah benar kita bisa melakukan multitasking? Sekalipun sering dikatakan bahwa perempuan dapat melakukan lebih banyak pekerjaan  dalam waktu yang bersamaan ketimbang pria.

Otak kita tidak mampu memerhatikan lebih dari satu aktivitas kompleks pada saat yang bersamaan. Sebenarnya, ketika multitasking, logika kerja otak kita adalah konsentrasi yang berpindah dengan cepat, dari satu aktivitas ke aktivitas lain—bukan memerhatikan segala hal dalam waktu bersamaan.
Saya sendiri adalah orang kemarin yang memaksakan kerja otak seperti itu. Tidak heran kalau saya cepat kelelahan. Kebiasaan saya seperti sarapan sambil baca koran, belajar sambil chatting-an, mendengarkan sambil laptop-an jadi penyebab energi pikiran saya cepat terkuras. Akhirnya, terkadang saya sudah kelelahan duluan, sedang pekerjaan mangkrak di tengah jalan.

Saat sarapan, perhatian saya tersita oleh berita koran soal bencana asap, riuhnya Pilkada, sampai kemelut revisi RUU KPK. Saya lupa menjadi tidak melihat perjalanan hidup saya sendiri dengan segala yang ada di depan. Banyak ketidaksadaran yang saya lakukan, saat kembali pada saat ini, ternyata sudah sekian banyak hal di sekeliling yang harusnya jadi perhatian tetapi saya lewatkan. Pernahkah anda mengalami hal seperti itu?

Menetap, tinggal diam, dan bersembunyi di masa lalu, serta terlalu berkhayal akan masa depan, hingga lupa menyadari keberadaan diri dan kesadaran diri untuk hadir utuh disini, masa kini untuk bersyukur. Sarapan pagi ini semoga jadi kesempatan saya untuk belajar melatih kesadaran. Mungkin istilah lainnya yakni khusyu’ dalam  pekerjaan apapun, termasuk makan. Dalam hal yang lebih serius pun seperti ibadah—sembahyang— bukankah kita telah dianjurkan untuk hadir utuh? Sedangkan pikiran seringkali terbang.

Saat makan, hanya makanlah. Saat baca koran, hanya bacalah koran. Saat mendengarkan kawanmu bicara, hanya dengarkanlah.  Sepertinya sangat sederhana, tapi bermakna dalam. Ya, biasanya kita sering bertemu dengan pemaknaan yang dalam justru di dalam kesederhanaan.


Saat membaca tulisan ini, apakah sampean juga sedang melakukan hal yang lain?
Hhe..

Kadang kita perlu duduk sejenak merangkul diam,
Tidak terperangkap masa lalu, tidak juga mengembara ke masa depan”
-          Adjie S.









Rabu, 14 Oktober 2015

Hukum Alam

Socrates pernah berkata, "Alam adalah manusia besar, dan manusia adalah alam kecil".

Kabarnya, hukum alam merupakan hukum tertua yang lebih dulu ada sebelum semua jenis hukum. Hukum itu seperti halnya, manusia tidak bisa bertahan hidup lama ketika menyelam di dalam air, sebab hukum itu diberikan pada ikan. Tidak bisa manusia terbang (tanpa alat), sebab hukum itu telah diberikan kepada burung. Ia adalah hukum kekekalan, siapa saja yang ingin kekal, maka kita hendak disuruh meneladaninya. Siapa yang menentangnya, dia akan mati. Seperti manusia tidak dapat hidup dalam kotak kayu tanpa ada celah udara yang masuk ke dalam kotak. Akhirnya kita hidup di garis hukum alam yang telah ditetapkanNya.

Hukum alam juga tak lekang oleh zaman. Sedang hukum manusia selalu berubah sesuai tafsir menurut kepentingannya.

Sampai saat ini, mungkin saya harus cukup merasa puas tentang mengapa ada orang yang hidupnya secara materi berkelimpahan, sedang banyak yang lain terpaksa hidup di bawah kemelaratan. Tentu itu bukan takdir Tuhan. Melainkan akibat hukum alam, hukum yang diciptakan Tuhan. Karena akibat, kita lalu mencari sebab, dari sebab itulah kita mendapati musabab.

Hari ini saya melihat kemelaratan- pengemis kecil yang selalu meramaikan perempatan lampu abang. Di mall, saya melihat orang sedang menjajakan berlian hanya untuk mereka yang ber-uang.

Apa ada yang salah dengan pemandangan semacam itu? Saya tidak hendak menghujat hukum alam. Sebab, "alam kecil' ini lah yang pantas ditanyai perkara itu.

Bagaimana pendapat anda soal pemandangan tangan renta yang tiba-tiba menjulurkan tangannya di depan anda?
Senyumannya telah berkata-kata tanpa ia bersuara.

Selasa, 13 Oktober 2015

Senin, 12 Oktober 2015

Pungtuasi

Bahasa terdiri dari dua aspek: bentuk dan makna. Dalam hal bahasa lisan yang disalin ke bahasa tulis, ada beberapa aspek yang tidak dapat dengan mudah di 'terjemahkan' ke bahasa tulis, misalnya intonasi (unsur suprasegmental). Intonasi atau penekanan suara dapat dengan mudah disampaikan lewat bahasa lisan. Maka aspek makna dapat dengan mudah dipahami. Berbeda dengan bahasa tulis, intonasi suara tidak tersurat pada aspek bentuk: fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat dan wacana (unsur segmental). Kemudian diciptakanlah pungtuasi atau tanda-tanda baca sebagai hasil usaha menggambarkan "unsur suprasegmental" yang tidak dapat digambarkan di bahasa tulis tadi.

Saya punya pengalaman menarik soal pungtuasi ini. Walaupun sepertinya hal yang remeh-temeh, tapi jika kita tidak pandai menggunakannya secara sadar, bisa saja komunikasi kita terhadap orang lain tidak berjalan dengan efektif -- bahasa atau maksud kita menjadi sulit dipahami oleh orang lain-- di dalam komunikasi bahasa tulis seperti SMS atau layanan chatting.

Misalnya, ketika saya sedang ingin bercanda dengan salah seorang kawan dengan menggunakan "nada" bicara seolah-olah menuntut kawan itu untuk bisa menjawab pertanyaan saya. Tapi, keterbatasan saya menggunakan pungtuasi itu atau karena saya mengabaikan peranannya di bahasa tulis, akhirnya, "nada" bercanda itu tidak tersampaikan. Alhasil, kawan itu marah-marah kepada saya karena cara saya bertanya menurutnya adalah tidak sopan. Haduh!
Mungkin akan berbeda jadinya jika itu disampaikan lewat bahasa lisan. Akan menjadi efektif, karena lawan bicara juga akan membaca air muka (ekspresi wajah, kerutan alis, nada bicara) saya.

Perkembangan teknologi sekarang sebenarnya juga sangat membantu pola komunikasi kita sehari-hari. Ekspresi kita telah difasilitasi oleh emoticon-emoticon yang unik dan tiap hari tambah banyak. Sejak booming-nya aplikasi chatting, emoticon telah ber-evolusi menjadi karakter-karakter lucu dan unik. Tapi, entah sebenarnya emoticon unik-unik itu apakah juga secara fungsional dikategorikan sebagai pungtuasi--membantu mengejawantahkan unsur suprasegmental yang tak terbaca dalam teks biasa-- dalam bahasa tulis.

Nah, apakah anda termasuk orang yang sering menggunakan emoticon saat chatting?
Kalau saya sih jarang memakainya. Saya sering memakai dua titik di akhir kalimat saya ketika sms atau chatting. Jika satu titik dipakai untuk mengakhiri kalimat (komunikasi), dua titik artinya adalah saya masih ingin melanjutkan chatting (makna yang saya buat sendiri) bukan makna sebagai konsensus yang telah disepakati banyak orang. Hhe.. Maka pungtuasi dalam kasus ini, munurut saya bersifat arbitrer. Lalu saya gunakan sebagai identitas saya ketika berkomunikasi non formal via chatting supaya tidak mudah dibajak orang lain. Hhe..

Kalau anda seperti apa?

Minggu, 11 Oktober 2015

Sibuk!

Minggu ini jadi sibuk betulan lalu jadi terlalu lama nggak nulis di sini. Hhe..(masih saja beralasan) tadinya mau berhenti nulis disini, tapi ada salah satu kawan yang menurut pengakuannya tulisanku disini bukan tulisan bodong atau sampah. Jadi lebih baik terus nulis, begitu katanya.

Oke, minggu depan sepertinya juga akan sibuk, alhamdulillah penggarapan majalah kampus rampung dengan serentetan rintangan yang ada. Sekarang, tinggal tunggu hasil cetak.. Semoga lancar sesuai harapan.
Selanjutnya apalagi?

Agenda organisasi masih lumayan banyak, saya masih harus merampungkan baca beberapa buku minggu ini, dan menulis resensi dari salah satunya. Lusa harus bolak-balik Malang-Pasuruan karena ada janji dengan dosen pembimbing magang. Sekaligus pengajuan judul & konsultasi skripsi. Hadeh..
Satu lagi, bulan oktober (momen sumpah Pemuda) mau buat sesuatu, masih berencana. Tunggu tanggal mainnya. Hhi..

Jangan Ngeluh
Sub judulnya sudah jelas. Jadi masuk di paragraf ini nggak usah terlalu banyak karakter.   Semoga dengan judul "sibuk!" Ini tidak membuat saya berhenti nge-blog.. Oke, ini bukan kalimat keluhan kan? Hhe..

Apakah anda juga "sibuk!"?