Kamis, 22 Oktober 2015

Melihat

Cara kita melihat sesuatu pastilah berbeda, walaupun objek yang dilihat itu sama. Dari melihat, kita mendapatkan yang kasat mata dan mendapatkan yang tak ditangkap oleh mata, persepsi!
Tulisan ini sebenarnya terinspirasi dari salah satu iklan rokok yang terpampang pada papan reklame pertigaan suatu jalan, yang setiap harinya saya melewati jalan itu untuk pergi-pulang kantor.

Poster iklan rokok itu digambarkan ada tiga orang pemuda yang sedang tertawa dengan background sebuah kota yang penuh sesak gedung pinggir pantai. Gambar itu bertuliskan “Ubah caramu melihat dunia”. Entah tulisan itu dimaksudkan apa oleh sang pembuat poster. Tapi sengaja tidak sengaja, ketika saya lewat pertigaan jalan tersebut, pandangan mata saya tersita papan reklame yang cukup besar itu. Dan secara sengaja atau tidak sengaja pula, pikiran saya secara refleks membaca tulisan itu. Setiap hari!

Setiap pagi, setiap sore. Setiap jam pergi-pulang kantor.  Saya semacam dipaksa membaca tulisan poster iklan itu. Padahal si pembuat poster juga tidak memerintahkan setiap orang yang melintasi reklame itu untuk membacanya, misal dengan keterangan “Penting, Wajib Dibaca”. Tetap saja saya dan banyak orang yang lain membacanya. Hhe..

Lama-kelamaan, karena saya mengonsumsi tulisan itu dua kali sehari, tulisan itu semacam telah jadi sugesti. “Ubah caramu melihat dunia”.

Setiap hari kok disuruh mengubah cara melihat? Papan reklame tempat poster itu juga tetap sama, tetap akan disitu tidak berpindah. Pertama, saya nggak sepakat sama tulisan itu. Memangnya cara saya melihat kenapa? Ada yang salah sehingga kudu saya ubah? Papan reklame itu hanya terdiam terpaku di tempatnya. (Hanya diskusi imajiner) Hhe..

Dari diskusi imajiner itulah, saya jadi harus mencari jawabannya sendiri. Memang masalah, biasanya timbul sebab oleh cara pandang kita sendiri. Kita jarang melihat dengan “apa adanya”. Misalnya, saya pernah marah di salah satu SPBU ketika sedang antre mengisi bensin. Saat itu, di SPBU terjadi antrean yang mengular sampai jalan raya, dan pada saat giliran kendaraan saya, tiba-tiba seorang perempuan nyelonong dari samping kanan saya nyelip masuk ke barisan antrean depan saya. Bagaimana nggak jengkel, lah wong  lainnya setia antre di belakang, orang ini seenaknya nggak mau antre. Lalu orang itu saya tegur. Mbak-mbak SPBU nya juga saya tegur. Tapi mereka berdua semacam menutup kupingnya. Sontak, pengendara yang antre di belakang saya juga teriak, mereka memperhatikan saya. Seolah menyuruh saya melabrak dua cewek itu. Tapi mbak-mbak itu tetap saja tidak memperdulikan saya dan yang lain. Dan begitu cepat, orang di depan saya itu langsung pergi cepat-cepat setelah kendaraannya terisi. Assemm..

Ya, banyak manusia yang melihat secara tidak apa adanya. Saya termasuk orang pendendam kala itu. Saya sulit melupakan kesalahan orang lain yang membuat saya marah. Sekalipun dia telah meminta maaf. Orang yang nyelonong  itu termasuk orang yang cara melihatnya dengan tidak apa adanya, ia nggak peduli sama antrean. Nggak punya rasa malu dan penghormatan terhadap hak orang lain. Artinya dia juga tidak bisa menghormati dirinya sendiri.

Mbak petugas SPBU, setali tiga uang dengan orang nyelonong itu. Tidak bisa melihat dengan apa adanya. Ia tidak memperhatikan antrean, siapa yang lebih dulu dan yang harus didahulukan. Ah mungkin dia petugas baru, jadi belum diajari bagaimana menghadapi pelanggan.
Atas kejadian itu, saya kesal sekali. Kalaupun saya diberi kesempatan membalasnya, saya kepengen  orang yang nyelonong itu ada di posisi saya yang diserobot saat antrean, dan yang menyerobot adalah saya sendiri. Ah, artinya kalau saya seperti itu, apa bedanya dengan cewek tadi.
Bayangkan kalau misalnya anda di posisi saya? Apakah wajar jika tak emosi?

Di sisi lain, ternyata cara saya melihat dunia juga tidak dengan apa adanya. Saya tidak melihat, mungkin orang yang nyelonong tadi sedang panik, buru-buru untuk urusan yang sangat mendesak, misalnya mengantarkan keluarganya yang sedang sekarat, sehingga dia tidak memerdulikan panjangnya antrean, termasuk tidak memerdulikan ocehan saya. Mungkin mbak petugas SPBU saat itu sedang nggak konsentrasi, karena berjaga sendirian sedangkan dia harus melayani dua sisi antara sepeda motor dan mobil secara bergantian. Sehingga dia tidak memerhatikan saya yang seharusnya menurut antrean harusnya lebih didahulukan ketimbang orang yang nyerobot tadi. Memang saya tidak melihat kemungkinan-kemungkinan yang  tidak terlihat itu. Yang tampak oleh mata saya saat itu, adalah ketidakbenaran terjadi, kezaliman (sesuatu yang tidak pada tempatnya) sedang terjadi dan patut diluruskan. Maka saya tidak boleh diam.

Akhirnya saya harus melihat dengan apa adanya. Inilah realitas. Sesuatu yag tidak kita harapakan bisa terjadi. Mau tidak mau, senang tidak senang saya harus menerimanya. Jika saya menolaknya, masalah akan timbul. Saya sakit hati, dendam dan masalah itu bisa jadi penyakit.

Dari situ saya mulai dilatih bagaimana mengubah cara melihat dunia. Melihat dunia dengan apa adanya.

Lalu, bagaimana cara sampeyan melihat dunia?




Tidak ada komentar:

Posting Komentar