Cara kita melihat sesuatu pastilah berbeda, walaupun objek yang dilihat itu sama. Dari melihat, kita mendapatkan yang kasat mata dan mendapatkan yang tak ditangkap oleh mata, persepsi!
Tulisan ini sebenarnya terinspirasi dari salah satu iklan rokok yang terpampang pada papan reklame pertigaan suatu jalan, yang setiap harinya saya melewati jalan itu untuk pergi-pulang kantor.
Tulisan ini sebenarnya terinspirasi dari salah satu iklan rokok yang terpampang pada papan reklame pertigaan suatu jalan, yang setiap harinya saya melewati jalan itu untuk pergi-pulang kantor.
Poster iklan rokok itu
digambarkan ada tiga orang pemuda yang sedang tertawa dengan background sebuah
kota yang penuh sesak gedung pinggir pantai. Gambar itu bertuliskan “Ubah
caramu melihat dunia”. Entah tulisan itu dimaksudkan apa oleh sang pembuat
poster. Tapi sengaja tidak sengaja, ketika saya lewat pertigaan jalan tersebut,
pandangan mata saya tersita papan reklame yang cukup besar itu. Dan secara
sengaja atau tidak sengaja pula, pikiran saya secara refleks membaca tulisan
itu. Setiap hari!
Setiap pagi, setiap sore. Setiap jam pergi-pulang kantor. Saya semacam dipaksa membaca tulisan poster
iklan itu. Padahal si pembuat poster juga tidak memerintahkan setiap orang yang
melintasi reklame itu untuk membacanya, misal dengan keterangan “Penting, Wajib
Dibaca”. Tetap saja saya dan banyak orang yang lain membacanya. Hhe..
Lama-kelamaan, karena saya mengonsumsi tulisan itu dua kali
sehari, tulisan itu semacam telah jadi sugesti. “Ubah caramu melihat dunia”.
Setiap hari kok disuruh mengubah cara melihat? Papan reklame
tempat poster itu juga tetap sama, tetap akan disitu tidak berpindah. Pertama,
saya nggak sepakat sama tulisan itu. Memangnya cara saya melihat kenapa? Ada yang
salah sehingga kudu saya ubah? Papan reklame itu hanya terdiam terpaku di
tempatnya. (Hanya diskusi imajiner) Hhe..
Dari diskusi imajiner itulah, saya jadi harus mencari
jawabannya sendiri. Memang masalah, biasanya timbul sebab oleh cara pandang
kita sendiri. Kita jarang melihat dengan “apa adanya”. Misalnya, saya pernah
marah di salah satu SPBU ketika sedang antre mengisi bensin. Saat itu, di SPBU
terjadi antrean yang mengular sampai jalan raya, dan pada saat giliran
kendaraan saya, tiba-tiba seorang perempuan nyelonong
dari samping kanan saya nyelip masuk
ke barisan antrean depan saya. Bagaimana nggak jengkel, lah wong lainnya setia antre di belakang, orang ini
seenaknya nggak mau antre. Lalu orang itu saya tegur. Mbak-mbak SPBU nya juga
saya tegur. Tapi mereka berdua semacam menutup kupingnya. Sontak, pengendara
yang antre di belakang saya juga teriak, mereka memperhatikan saya. Seolah menyuruh
saya melabrak dua cewek itu. Tapi mbak-mbak itu tetap saja tidak memperdulikan
saya dan yang lain. Dan begitu cepat, orang di depan saya itu langsung pergi
cepat-cepat setelah kendaraannya terisi. Assemm..
Ya, banyak manusia yang melihat secara tidak apa adanya. Saya
termasuk orang pendendam kala itu. Saya sulit melupakan kesalahan orang lain
yang membuat saya marah. Sekalipun dia telah meminta maaf. Orang yang nyelonong
itu termasuk orang yang cara melihatnya
dengan tidak apa adanya, ia nggak peduli sama antrean. Nggak punya rasa malu dan
penghormatan terhadap hak orang lain. Artinya dia juga tidak bisa menghormati
dirinya sendiri.
Mbak petugas SPBU, setali tiga uang dengan orang nyelonong itu. Tidak bisa melihat dengan
apa adanya. Ia tidak memperhatikan antrean, siapa yang lebih dulu dan yang
harus didahulukan. Ah mungkin dia petugas baru, jadi belum diajari bagaimana menghadapi
pelanggan.
Atas kejadian itu, saya kesal sekali. Kalaupun saya diberi
kesempatan membalasnya, saya kepengen
orang yang nyelonong itu ada di posisi saya yang diserobot saat antrean,
dan yang menyerobot adalah saya sendiri. Ah, artinya kalau saya seperti itu,
apa bedanya dengan cewek tadi.
Bayangkan kalau misalnya anda di posisi saya? Apakah wajar
jika tak emosi?
Di sisi lain, ternyata cara saya melihat dunia juga tidak
dengan apa adanya. Saya tidak melihat, mungkin orang yang nyelonong tadi sedang panik, buru-buru untuk urusan yang sangat
mendesak, misalnya mengantarkan keluarganya yang sedang sekarat, sehingga dia
tidak memerdulikan panjangnya antrean, termasuk tidak memerdulikan ocehan saya.
Mungkin mbak petugas SPBU saat itu sedang nggak konsentrasi, karena berjaga
sendirian sedangkan dia harus melayani dua sisi antara sepeda motor dan mobil
secara bergantian. Sehingga dia tidak memerhatikan saya yang seharusnya menurut
antrean harusnya lebih didahulukan ketimbang orang yang nyerobot tadi. Memang saya
tidak melihat kemungkinan-kemungkinan yang
tidak terlihat itu. Yang tampak oleh mata saya saat itu, adalah
ketidakbenaran terjadi, kezaliman (sesuatu yang tidak pada tempatnya) sedang
terjadi dan patut diluruskan. Maka saya tidak boleh diam.
Akhirnya saya harus melihat dengan apa adanya. Inilah realitas.
Sesuatu yag tidak kita harapakan bisa terjadi. Mau tidak mau, senang tidak
senang saya harus menerimanya. Jika saya menolaknya, masalah akan timbul. Saya sakit
hati, dendam dan masalah itu bisa jadi penyakit.
Dari situ saya mulai dilatih bagaimana mengubah cara
melihat dunia. Melihat dunia dengan apa adanya.
Lalu, bagaimana cara sampeyan
melihat dunia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar