Senin, 12 Oktober 2015

Pungtuasi

Bahasa terdiri dari dua aspek: bentuk dan makna. Dalam hal bahasa lisan yang disalin ke bahasa tulis, ada beberapa aspek yang tidak dapat dengan mudah di 'terjemahkan' ke bahasa tulis, misalnya intonasi (unsur suprasegmental). Intonasi atau penekanan suara dapat dengan mudah disampaikan lewat bahasa lisan. Maka aspek makna dapat dengan mudah dipahami. Berbeda dengan bahasa tulis, intonasi suara tidak tersurat pada aspek bentuk: fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat dan wacana (unsur segmental). Kemudian diciptakanlah pungtuasi atau tanda-tanda baca sebagai hasil usaha menggambarkan "unsur suprasegmental" yang tidak dapat digambarkan di bahasa tulis tadi.

Saya punya pengalaman menarik soal pungtuasi ini. Walaupun sepertinya hal yang remeh-temeh, tapi jika kita tidak pandai menggunakannya secara sadar, bisa saja komunikasi kita terhadap orang lain tidak berjalan dengan efektif -- bahasa atau maksud kita menjadi sulit dipahami oleh orang lain-- di dalam komunikasi bahasa tulis seperti SMS atau layanan chatting.

Misalnya, ketika saya sedang ingin bercanda dengan salah seorang kawan dengan menggunakan "nada" bicara seolah-olah menuntut kawan itu untuk bisa menjawab pertanyaan saya. Tapi, keterbatasan saya menggunakan pungtuasi itu atau karena saya mengabaikan peranannya di bahasa tulis, akhirnya, "nada" bercanda itu tidak tersampaikan. Alhasil, kawan itu marah-marah kepada saya karena cara saya bertanya menurutnya adalah tidak sopan. Haduh!
Mungkin akan berbeda jadinya jika itu disampaikan lewat bahasa lisan. Akan menjadi efektif, karena lawan bicara juga akan membaca air muka (ekspresi wajah, kerutan alis, nada bicara) saya.

Perkembangan teknologi sekarang sebenarnya juga sangat membantu pola komunikasi kita sehari-hari. Ekspresi kita telah difasilitasi oleh emoticon-emoticon yang unik dan tiap hari tambah banyak. Sejak booming-nya aplikasi chatting, emoticon telah ber-evolusi menjadi karakter-karakter lucu dan unik. Tapi, entah sebenarnya emoticon unik-unik itu apakah juga secara fungsional dikategorikan sebagai pungtuasi--membantu mengejawantahkan unsur suprasegmental yang tak terbaca dalam teks biasa-- dalam bahasa tulis.

Nah, apakah anda termasuk orang yang sering menggunakan emoticon saat chatting?
Kalau saya sih jarang memakainya. Saya sering memakai dua titik di akhir kalimat saya ketika sms atau chatting. Jika satu titik dipakai untuk mengakhiri kalimat (komunikasi), dua titik artinya adalah saya masih ingin melanjutkan chatting (makna yang saya buat sendiri) bukan makna sebagai konsensus yang telah disepakati banyak orang. Hhe.. Maka pungtuasi dalam kasus ini, munurut saya bersifat arbitrer. Lalu saya gunakan sebagai identitas saya ketika berkomunikasi non formal via chatting supaya tidak mudah dibajak orang lain. Hhe..

Kalau anda seperti apa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar