Senin, 23 November 2015

Do'a

Doa manakah yang paling baik itu?
Saya percaya kalau doa itu merupakan barang paling keramat yang dimiliki setiap manusia. Kenapa setiap manusia? Bukankah ada orang yang nggak percaya pada adanya Tuhan.
Walaupun begitu, nyaris setiap yang nggak percaya sama Tuhan pun, kalau mereka masih hidup, mereka pasti pernah berkata "saya berharap..I hope.."
Yang saya tahu, sifat Tuhan itu adalah pengasih bagi semua manusia namun kasih dan sifat penyayangnya hanya diberikan pada mereka yang percaya. Begitulah sifat keibuan (feminin) Tuhan yang dikenalkan Ibu saya sewaktu kecil.
Jadi setiap orang punyalah doa yang keramat. Termasuk orang yang tidak ingin disebut berdoa itu. Bagi saya, harapan juga sebuah doa, yakni perihal yang telah digantungkan pada sesuatu di luar kuasa kita. Suatu dzat yang sama sekali berbeda dengan manusia. Dzat yang merajai segalanya.

Dan percaya itu bukan perkara yang kita harus tahu dulu. Misalnya, air laut itu rasanya asin. Kita tidak perlu mencicipi meminum air laut untuk membuktikan kalau air laut itu asin. Kita sudah tahu rasa asin itu dan tahu pula air laut berasa asin dari orang pertama yang menemukan bahwa garam itu berasal dari air laut. Garam itu asin. Kita percaya, dan kita tidak harus sampai meminum air laut yang asin.

Dan percaya pada doa itu juga perkara di luar kekuasaan kita. Kita hanya bisa percaya, dan percaya tidak harus tahu dahulu. Doa mungkin bisa terucap atau tertulis tapi siapa yang bisa membuktikan bahwa doa itu dapat digenggam dan dapat pula dibuktikan kekeramatannya? Ya, kita hanya perlu memercayai kepada siapa ia harus digantungkan.

Selamat pagi. Semoga orang-orang baik yang kita sayangi selalu dinaungi keselamatan dan kesehatan hari ini. Amin.

Bagaimana dengan doa sampeyan pagi ini?

Senin, 16 November 2015

The Morning Star

Demi langit dan yang datang pada malam hari
dan tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?
yaitu bintang yang bersinar tajam,
setiap orang pasti ada penjaganya.

"No human soul but hath a guardian over it"

Jumat, 13 November 2015

Critical Thinking

Minggu ini saya agak keteteran membagi waktu. Terlalu banyak berkutat dengan pekerjaan teknis akhirnya jadi mengabaikan yang sifatnya konsep. Hadeh..

Berikut adalah hasil catatan (evaluasi) saya terhadap diri saya sendiri setelah mempelajari konsep critical thinking minggu lalu,

 Fakta: Pekerjaan  tidak selesai sesuai dateline (molor)
 Pengalaman: Pekerjaan menumpuk (banyak). Akhirnya hanya satu dua yang terselesaikan
 Observasi: besok masih banyak tugas yang harus selesai tepat waktu
Asumsi: Kemungkinan pekerjaan akan semakin banyak sehingga membutuhkan waktu dan disiplin tinggi.
 Keyakinan & Nilai: Tepat waktu adalah hal penting. Maka, besok dan seterusnya saya harus menyelesaikan pekerjaan sesuai dateline.
  Kesimpulan: saya akan menghapus beberapa list pekerjaan yang bukan prioritas sehingga tidak jadi beban pekerjaan yang harus diselesaikan hari itu. Lalu, mengerjakan tanpa menunggu momen/inspirasi/goodmood datang & fokus pada hal yang dikerjakan.

Oiya, catatan terpenting dari konsep critical thinking ini sebenarnya ada pada implementasi kesimpulan. Jadi percuma kalau bisa buat kesimpulan tapi nggak dilakuin. Balik lagi ke urusan teknis. Hha..

Setiap sebelum tidur, membuat catatan seperti ini adalah hal yang paling membosankan. Apalagi kita harus jujur mengakui kalau kita sering bersikap pragmatis (memilih yang paling nyaman). Iya kan?
Gimana mau kritis? Lah wong sukanya pragmatis.. 

Kalau sampeyan yang mana?


Minggu, 08 November 2015

Connected

Nama                                    : Manusia Dua Dimensi
Tempat Tanggal Lahir          : Internet, Lahir sejak internet ada
Alamat                                  : Ada di mana-mana

Ya, sekarang ada spesies manusia yang baru saja ditemukan. Jika dituliskan riwayatnya jadilah seperti di atas itu. Namanya Manusia Dua Dimensi (MDD) karena bentuknya yang dua dimensi. Kelahirannya tidak diketahui secara pasti kapan, tapi penandanya dapat kita tahu yakni sejak pertama kali internet ada. Manusia ini laluberkembang biak, mengisi ruang-ruang dua dimensi dimana-mana. Jika sekarang ada ruang yang disebut line, facebook, BBm, Google+, Ask.fm, Path, Twitter dan sejenisnya, maka manusia jenis ini ada dimana-mana.

Manusia kini lalu menuntut agar selalu terhubung (connected). Agar selalu terhubung, banyak provider yang sekarang sedang perang harga melalui layanan paket internet. Mulai dari paket harian, mingguan bulanan bahkan tahunan. Wah, bayangkan berapa banyak perputaran uang yang terjadi di dunia perpaketan ini. Jelas, pasarnya saat ini masih sangat luas karena kebanyakan manusia ingin terhubung dengan lainnya. Ya, setidaknya jumlah mereka lebih besar dibanding yang tidak menginginkannya atau belum menjadi MDD. Rupanya MDD ini adalah jelmaan dari MTD (Manusia Tiga Dimensi) yang biasa kita temui sehari-hari. Hhe..

Saya jadi membayangkan, apakah nanti manusia-manusia yang biasa saya jumpai dalam bentuk tiga dimensi ini semua berubah menjadi manusia dua dimensi. Yang tidak bisa saya sentuh walaupun terlihat lewat kaca dua dimensi. Yang selalu terlihat lebih indah ketimbang tiga dimensinya atau malah sebaliknya. Saya masih menerka. Peradaban manusia akan silih berganti.

Kehidupan tiga dimensi akhirnya tidak menarik lagi karena tergantikan dengan dua dimensi yang lebih cepat, dan karena kelebihannya dapat selalu terhubung dengan manusia di belahan bumi lain.
Saya bukan manusia anti teknologi, sebab saya menulis ini (atau mengetik lebih tepatnya) juga menggunakan produk teknologi. Tapi, kok saya jadi khawatir dengan orang yang terlalu tergantung dengan teknologi, yang selalu terhubung (connected) itu sampai lupa menghidupi dunia yang kita lihat dengan mata kita sejak bangun pagi sampai tertidur lagi. Ada dari mereka yang depresi lalu bunuh diri. Apakah dunia sudah segila ini.

Apakah kekhawatiran saya ini terlalu di buat-buat. Saya juga bagian dari MDD. Setidaknya saya harus terhubung agar tulisan ini dibaca oleh MDD yang lain.

Selamat pagi 






Rabu, 04 November 2015

Disuapi

Kalau mau makan, carilah makanan. Kalau ingin bisa menggambar, maka berlatihlah menggambar. Kalau ingin sesuatu, maka kejarlah!

Kebanyakan dari kita cenderung menginginkan berbagai hal, tetapi sedikit yang mengusahakan seluruh kemampuan untuk mendapatkan suatu yang diinginkan itu. Menjadikan alasan sibuk sebagai untuk membenarkan bahwa kita tidak sempat melakukan usaha ke arah tujuan kita. Ya, orang yang sibuk, sebenarnya adalah mereka yang tidak menentukan pilihan.

Misalnya saja jika kita ingin menguasai teknik melukis, berapa banyak waktu yang telah kita usahakan untuk berlatih melukis. Kita ingin lancar berbahasa inggris, tapi sudah berapa kali kita melafalkan bahasa inggris setiap hari agar sampai dikatakan "sudah bisa"? Ah, sudah terlalu banyak alasan  kalau kita mengatakan karena tidak sempat. lagi-lagi kita berkata sibuk!

Tidak ada istilah 'sibuk' bagi orang-orang yang menentukan pilihan. Maka, jika ia sudah memilih tujuan, keinginan, atau cita-citanya, ia pasti akan mengejarnya. Jadi, kejarlah!

Sayangnya, menunggu disuapi adalah karakter kebanyakan orang yang suka mengatasnamakan sibuk sebagai suatu pembenaran. Oh iya, saya tidak berbicara tentang mereka. Saya bicara tentang kita.

Minggu ini, Apa cita-cita sampeyan?


Minggu, 01 November 2015

Nggak Semua Dapat Dibeli

Nggak semua bisa dibeli dengan uang. Berapa pun uang yang kamu punya di kantong, belum tentu kamu bisa makan saat kamu sedang lapar. Misalkan kamu lagi tersesat sendiri di tengah samudera. Saat kelaparan, nggak ada makanan, kamu mau beli makan. Tapi, di tengah laut mana ada yang jual nasi pecel, hhe..

Saya pernah punya pengalaman mirip seperti itu. Sewaktu saya dalam perjalanan pulang dari Situbondo-Jember, di tengah perjalanan saya mampir ke pasar sepatu bersama adik.  Siang itu Jember sedang terik, kami berjalan kaki dari pasar Gebang menuju halte angkot untuk melanjutkan perjalanan. Sambil lalu mencari warung yang jual nasi di sekitar jalan karena kami sedang lapar. Tapi, tidak ada warung yg kami maksud. Nggak ada yang jual nasi..
Hadeh..
Sempat ada warung sate yang buka, tapi ternyata satenya sudah ludes diborong orang lain.
Sayangnya kita nggak makan uang. Walaupun katanya dengan uang kita nggak takut kelaparan.
Rupanya punya uang belum tentu bisa makan, Kalau di bumi ini nggak ada yang jual makanan.

Sekali-kali posting makanan. Hhe..
Ini namanya jajan lopes (e=sate). Jajanan tradisional ini udah jarang dijumpai. Saya beli di tempat dekat kos-kosan. Ini pun yang jual nenek-nenek. Jadi yang membuat juga sudah ahlinya. Nggak perlu ragu soal rasa. Harganya pun murah. Tapi walaupun murah, seberapa banyak uang yang kita miliki, jika sudah nggak ada yang jual lopes, tetap saja kita tidak bisa menikmati. Kecuali kalau mau buat sendiri.

Kalau sampeyan, hal apa yang nggak bisa dibeli dengan uang sampeyan?

Rabu, 28 Oktober 2015

Sebentar

Tak semua hal harus berguna dan berfaedah. “makan permen karet sambil menyanyi juga tak ada manfaatnya. Tapi toh tetap saja dilakukan.” Kegembiraan kecil, kesenangan remeh-temeh, rasa suka cita yang walaupun hanya hadir sekejap, tidak pernah sia-sia.

Hari sabtu dan minggu kemarin saya pulang ke kampung halaman. Tidak banyak aktvitas di rumah. Tapi, bisa bertemu dengan keluarga walaupun hanya sebentar, itu sudah jadi kebahagiaan tersendiri.
Hari Sabtu, malamnya saya menghadiri acara pertunjukan seni di salah satu kampus terbesar di Jember, Jawa Timur. Saya diajak teman saya, sendirian. Awalnya saya ingin mendokumentasikan acara itu dalam muatan berita. Tapi, saat acara berlangsung, tidak boleh ada perangkat gawai yang hidup untuk sekadar “memotret”. Alhasil, saya matikan HP dan fokus hanya untuk menonton pertunjukan monolog itu. Saya hanya duduk dan menikmatinya.



Kamis, 22 Oktober 2015

Melihat

Cara kita melihat sesuatu pastilah berbeda, walaupun objek yang dilihat itu sama. Dari melihat, kita mendapatkan yang kasat mata dan mendapatkan yang tak ditangkap oleh mata, persepsi!
Tulisan ini sebenarnya terinspirasi dari salah satu iklan rokok yang terpampang pada papan reklame pertigaan suatu jalan, yang setiap harinya saya melewati jalan itu untuk pergi-pulang kantor.

Poster iklan rokok itu digambarkan ada tiga orang pemuda yang sedang tertawa dengan background sebuah kota yang penuh sesak gedung pinggir pantai. Gambar itu bertuliskan “Ubah caramu melihat dunia”. Entah tulisan itu dimaksudkan apa oleh sang pembuat poster. Tapi sengaja tidak sengaja, ketika saya lewat pertigaan jalan tersebut, pandangan mata saya tersita papan reklame yang cukup besar itu. Dan secara sengaja atau tidak sengaja pula, pikiran saya secara refleks membaca tulisan itu. Setiap hari!

Setiap pagi, setiap sore. Setiap jam pergi-pulang kantor.  Saya semacam dipaksa membaca tulisan poster iklan itu. Padahal si pembuat poster juga tidak memerintahkan setiap orang yang melintasi reklame itu untuk membacanya, misal dengan keterangan “Penting, Wajib Dibaca”. Tetap saja saya dan banyak orang yang lain membacanya. Hhe..

Lama-kelamaan, karena saya mengonsumsi tulisan itu dua kali sehari, tulisan itu semacam telah jadi sugesti. “Ubah caramu melihat dunia”.

Setiap hari kok disuruh mengubah cara melihat? Papan reklame tempat poster itu juga tetap sama, tetap akan disitu tidak berpindah. Pertama, saya nggak sepakat sama tulisan itu. Memangnya cara saya melihat kenapa? Ada yang salah sehingga kudu saya ubah? Papan reklame itu hanya terdiam terpaku di tempatnya. (Hanya diskusi imajiner) Hhe..

Dari diskusi imajiner itulah, saya jadi harus mencari jawabannya sendiri. Memang masalah, biasanya timbul sebab oleh cara pandang kita sendiri. Kita jarang melihat dengan “apa adanya”. Misalnya, saya pernah marah di salah satu SPBU ketika sedang antre mengisi bensin. Saat itu, di SPBU terjadi antrean yang mengular sampai jalan raya, dan pada saat giliran kendaraan saya, tiba-tiba seorang perempuan nyelonong dari samping kanan saya nyelip masuk ke barisan antrean depan saya. Bagaimana nggak jengkel, lah wong  lainnya setia antre di belakang, orang ini seenaknya nggak mau antre. Lalu orang itu saya tegur. Mbak-mbak SPBU nya juga saya tegur. Tapi mereka berdua semacam menutup kupingnya. Sontak, pengendara yang antre di belakang saya juga teriak, mereka memperhatikan saya. Seolah menyuruh saya melabrak dua cewek itu. Tapi mbak-mbak itu tetap saja tidak memperdulikan saya dan yang lain. Dan begitu cepat, orang di depan saya itu langsung pergi cepat-cepat setelah kendaraannya terisi. Assemm..

Ya, banyak manusia yang melihat secara tidak apa adanya. Saya termasuk orang pendendam kala itu. Saya sulit melupakan kesalahan orang lain yang membuat saya marah. Sekalipun dia telah meminta maaf. Orang yang nyelonong  itu termasuk orang yang cara melihatnya dengan tidak apa adanya, ia nggak peduli sama antrean. Nggak punya rasa malu dan penghormatan terhadap hak orang lain. Artinya dia juga tidak bisa menghormati dirinya sendiri.

Mbak petugas SPBU, setali tiga uang dengan orang nyelonong itu. Tidak bisa melihat dengan apa adanya. Ia tidak memperhatikan antrean, siapa yang lebih dulu dan yang harus didahulukan. Ah mungkin dia petugas baru, jadi belum diajari bagaimana menghadapi pelanggan.
Atas kejadian itu, saya kesal sekali. Kalaupun saya diberi kesempatan membalasnya, saya kepengen  orang yang nyelonong itu ada di posisi saya yang diserobot saat antrean, dan yang menyerobot adalah saya sendiri. Ah, artinya kalau saya seperti itu, apa bedanya dengan cewek tadi.
Bayangkan kalau misalnya anda di posisi saya? Apakah wajar jika tak emosi?

Di sisi lain, ternyata cara saya melihat dunia juga tidak dengan apa adanya. Saya tidak melihat, mungkin orang yang nyelonong tadi sedang panik, buru-buru untuk urusan yang sangat mendesak, misalnya mengantarkan keluarganya yang sedang sekarat, sehingga dia tidak memerdulikan panjangnya antrean, termasuk tidak memerdulikan ocehan saya. Mungkin mbak petugas SPBU saat itu sedang nggak konsentrasi, karena berjaga sendirian sedangkan dia harus melayani dua sisi antara sepeda motor dan mobil secara bergantian. Sehingga dia tidak memerhatikan saya yang seharusnya menurut antrean harusnya lebih didahulukan ketimbang orang yang nyerobot tadi. Memang saya tidak melihat kemungkinan-kemungkinan yang  tidak terlihat itu. Yang tampak oleh mata saya saat itu, adalah ketidakbenaran terjadi, kezaliman (sesuatu yang tidak pada tempatnya) sedang terjadi dan patut diluruskan. Maka saya tidak boleh diam.

Akhirnya saya harus melihat dengan apa adanya. Inilah realitas. Sesuatu yag tidak kita harapakan bisa terjadi. Mau tidak mau, senang tidak senang saya harus menerimanya. Jika saya menolaknya, masalah akan timbul. Saya sakit hati, dendam dan masalah itu bisa jadi penyakit.

Dari situ saya mulai dilatih bagaimana mengubah cara melihat dunia. Melihat dunia dengan apa adanya.

Lalu, bagaimana cara sampeyan melihat dunia?




Rabu, 21 Oktober 2015

Cerita

Cerita yang terikat pada suatu bendalah yang membuat benda menjadi lebih berharga. Cerita tentang suatu hubungan yang terekam benda lah yang membuat kita lebih bahagia.

Karena ada ceritanya, seorang penggemar Michael Jackson rela merogoh kocek cukup dalam untuk hanya membeli kaos bekas rajanya musik pop itu di suatu lelang. Saya yakin, tentu harganya jauh lebih mahal dengan harga kaos baru termahal di pasar swalayan. Hhe.. 
Karena Soekarno menyejarah, orang-orang rela berburu barang peninggalannya untuk dikoleksi sebab bernilai ekonomis tinggi, atau hanya sekadar disimpan sebagai pembahagia jiwa.

Saya punya kawan yang suka mengoleksi tanda tangan musisi favoritnya. Tentu karena musisi itu punya cerita. Dan kawan saya itu tau ceritanya. Ia bahkan rela pergi jauh dengan ongkos yang tidak murah, membeli tiket sampai berdesakan agar bisa meminta tanda tangan musisi itu. Mungkin, bagi orang lain yang tidak mengerti ceritanya, kegiatan itu dianggap hanya menghabiskan uang saja.

Begitu kira-kira kekuatan cerita. Nah, saya juga mau cerita tentang gelang dan jam tangan saya ini. Mungkin kata orang, ini barang kesayangan saya, tapi saya sebenarnya tidak punya barang seperti itu.

Ada cerita yang membuat saya tetap memakai jam dan gelang ini. Minggu kemarin saya ke tukang servis jam tangan. Saya ditawari jam baru yang mirip jam ini ketika saya ingin mengganti karet pengaitnya yang putus. Saya pikir, eman kalau misalnya beli lagi yang baru kalau jam ini masih hidup, cuma karetnya yang putus akibat lapuk. Belum lagi, jam ini jadi istimewa karena sebelum pergelangan tangan saya, ada pergelangan tangan orang lain yang sempat jadi tuannya. Ya, jam ini saya beli dari kawan; perempuan; kakak tingkat; mentor saya saat masih jadi calon staf magang lembaga pers kampus. Hhe..
Kebetulan pas saya pinjam, dia bilang kalau mau beli jam baru, karena jam ini jarumnya sudah rusak. Jadi tinggal jam digitalnya saja yang berfungsi. Lalu saya tawar agar dijual dengan harga murah, karena saat itu, saya membutuhkan jam tangan tapi lagi nggak punya uang. Alhamdulillah boleh.. Hha..
Kondisinya sekarang sudah kusam, terakhir saya mengganti baterai dan karetnya. Walaupun begitu, jam ini menyimpan banyak cerita di balik perjalanan saya dan angka digitalnya.

Kedua, gelang ini adalah pemberian kawan saya sebagai oleh-oleh dari Lombok saat ia ke Rinjani. Awalnya saya nggak suka pakai gelang, tapi karena untuk menghargai kawan saya, akhirnya saya pakai. Lalu, entah kenapa saya sekarang jadi lebih percaya diri saja saat menggambar dengan memakai gelang ini. Apa itu juga karena kekuatan cerita? Hhe..
Suwun bro..

Bagaimana dengan barang kesayangan anda? Apakah yang membuat lebih berharga juga karena ceritanya?


Selasa, 20 Oktober 2015

Menghapus yang tidak perlu


Menyimpan sesuatu yang tidak perlu itu tidak bijak. Segala barang belum tentu penting menurut kita, dan kita tidak harus menyimpannya. Misalnya, apakah kita setelah nonton film (di laptop)  lalu filmnya tidak dihapus? Katakanlah karena mungkin kita nanti akan melihatnya lagi, jadi film itu tidak kita hapus dari dalam komputer. Tapi setelah berbulan-bulan, apakah benar kita akan melihatnya lagi? Bisa iya bisa tidak. Bagi yang hobby menonton film, mungkin dalam sebulan atau dua bulan, berapa memory yang dihabiskan untuk menyimpan file film. Padahal film itu setelah di tonton belum tentu dilihat lagi.

Akhirnya, memory penyimpanan komputer kita cepat habis, karena file film biasanya yang berkapasitas besar ketimbang jenis file yang lain, sehingga memakan jatah paling banyak memory hardisk komputer. Dan terkadang, membuat komputer kita lemot. Sama halnya dengan pikiran kita, memory jangka pendek kita punya keterbatasan. Kapasitas mengingat kita juga terbatas. Setiap harinya, ribuan sel otak mati lalu digantikan oleh sel baru.

Kalau dalam cerita Sherlock holmes, dia mengibaratkan pikiran manusia itu seperti loteng, tempat menyimpan barang. Semakin hari barang yang kita simpan dalam loteng semakin banyak, dan semakin banyak barang yang tidak perlu di dalam loteng, menyebabkan kita kesulitan mencari barang yang kita perlukan. Artinya, jika semakin banyak sesuatu yang tidak kita perlukan masuk dalam pikiran kita, maka itu akan mengganggu kita dalam mengakses informasi yang kita butuhkan. Jadi semua informasi belum tentu penting. Bahkan, sherlock holmes pernah berkata bahwa, pengetahuan tentang bumi yang bulat itu tidaklah penting, sebab baginya, informasi itu tidak memberikan dampak langsung terhadap penyelesaian pekerjaannya.

Saya jadi ingat, ternyata banyak informasi sampah yang ada di laptop saya, termasuk film-film yang sudah saya tonton. Mau dihapus kok eman­, nggak dihapus juga nyampah—menghabiskan banyak memory. Karena nggak punya hardisk eksternal, jadi lebih baik saya hapus aja beberapa. Hhe..
Kalau di komputer, mungkin kita bisa gunakan pengaturan Disk defragmenter untuk menata ulang hard drive dan fungsi clean up agar performa komputer kita tetap optimal.

Apakah laptop anda juga sering lemot?  Coba periksakanlah ke dokter (tukang servis computer). Hhe..






Senin, 19 Oktober 2015

Kesetrum

Hari ini masih menjadi hari ini untuk saya terus hidup. Sore tadi saya kesetrum, beruntunglah nyawa masih di kandung badan. Hhe..
Kejadiannya begitu cepat. Setelah rehat sejenak dari kantor, saya disuruh mbah memasang lampu LED yang baru saja saya bawa dari Malang. Dengan nyawa yang belum terkumpul semua (bangun tidur) saya langsung mencopot lampu yang sudah usang itu, tak ada masalah. Setelah itu saya pasang lampu yang baru. Nah, karena viting lampunya itu terlalu pendek sehingga lampu LED nggak bisa masuk dengan pas, maka saya upayakan agar pas dengan terus memutar lampu sampai masuk ke dalam viting. Tanpa sadar, (karena agak kesal lampu tidak kunjung pas nempel dalam viting) secara refleks tangan kiri saya yang memegangi viting itu menggenggam viting lebih erat dan salah satu jari menyentuh batang tampu LED yang terbuka akibat tidak masuk seluruhnya pada viting. Seketika jrruettt.. aliran listrik menyengat tubuh ini sampai kaki. Saya menjerit.. hhe.. dan seketika juga tangan terlepas. Alhamdulillah.

Sepertinya saya butuh sedikit tambahan darah. Badan jadi bergetar, mata yang mengantuk seketika jadi melek.

Kadang kita juga perlu diingatkan pada situasi setengah mati. Supaya kita lebih bersyukur atas nikmat hidup itu. Termasuk caranya dengan kesetrum-sebuah cara yang tidak saya kehendaki- mungkin ini agar saya juga lebih berhati-hati. Kapanpun, dimanapun.

Kapan anda terakhir mengalami kesetrum? he.he.he..

Minggu, 18 Oktober 2015

Perasaan

Bosan itu perasaan. Seorang pekerja seni harus sanggup menyiksa diri, begitu kira-kira nasihat Putu Wijaya. Dia mendisiplinkan diri dengan kegiatan menulis. Saban hari, dia menulis setiap subuh. Apapun yang terjadi. Dipaksa, dia melawan kebosanannya sendiri. Menyiksa diri.

Kita melawan perasaan. Bahwa perasaan itu harus ditekan. Karena tidak bisa dibunuh, maka ia harus dikendalikan. Meminjam bahasa Buya, perasaan yang saya maksud itu disebut "Hawa" bukan nafsu, sebab dalam kata "nafsu", masih ada pemaknaan nafsu yang baik (nafsu muthmainnah). Mengendalikan perasaan artinya sama dengan mengendalikan Hawa.

Latihan menyiksa diri ini perlu dilakukan. Selain menulis blog, saya memilih kegiatan mencuci sebagai kegiatan meditatif saya. Apa pun yang dilakukan harus sampai pada level meditatif, melawan perasaan. Perasaan bosan.

Pagi ini cucian numpuk, ada yang mau membantu mencuci? Hhe..

Sabtu, 17 Oktober 2015

Pak Te

Jujur. Adalah kata yang mudah diucapkan tapi sulit dilaksanakan. Sebab, jujur membutuhkan keberanian. Atau, jika perkataan saya salah, kita pakai saja "jujur karena benar akan membawa keberanian".

Dua minggu sudah, saya magang di salah satu instansi pemerintah Kota Pasuruan. Waktu yang bisa dianggap cukup untuk mengenali lingkungan kerja termasuk orang-orang yang ada dalam kantor. Sesuai rencana, saya ditempatkan di bagian yang saya inginkan: penagihan dan keberatan pajak. Disana, ada sembilan orang pegawai, satu orang Kabid (Kepala Bidang), dua orang Kasi (Kepala Seksi/ Kepala Sub Bagian), dan enam orang staf.

Pak Te, ya, begitu sapaan akrabnya. Beliau salah satu dari enam orang staf penagihan. Nama lengkapnya Suteja, panggilannya Pak Te. Nama yang sederhana. Hhe..
Saya jadi ingat nama kawan SMP, namanya Teja juga, ketika saya tanyai sejarah nama itu dia bilang Te, berasal dari penggalan nama daerah Ternate, daerah asal bapaknya. Sedang, Ja, berasal dari suku kata Pulau Jawa, tempat lahir ibunya. Jadilah Teja.

Pak Te, panggilan itu tersemat padanya bukan karena akronim atau apa, tapi memang kultur di instansi itulah yang sudah melabelkan nama-nama panggilan yang unik, sederhana dan mudah diingat. Sebut saja disana ada namanya pak Ce (Cahyono). Nama-nama singkat itu sepertinya hanya dimiliki oleh angkatan tua. Salah satunya Pak Te, usianya sudah nggak pagi lagi. Kurang 4 tahun, beliau mengaku sudah akan copot seragam. Lebih pantas sebenarnya saya memanggilnya dengan sebutan "Mbah", tapi karena menghormati posisi beliau di kantor, saya tetap memakai kata "Pak".

Saya suka berdiskusi dengan siapa saja, dari yang anak-anak, kawan sebaya ataupun orang tua. Dengan orang yang lebih tua, biasanya saya lebih banyak mengambil sari pengalaman hidupnya. Sebab, saya anggap mereka yang sudah lebih dulu hidup, lebih dulu telah memakan-meminjam ungkapan salah satu dosen ternama- "asam asin garam kehidupan".

Dari mengenal Pak Te, kecurigaan saya atas perilaku koruptif yang terlabel di instansi pemerintah sepertinya harus saya tarik dulu. Ya,   pandangan awam pun saat ini juga tidak akan jauh berbeda dengan saya. Bahwa, Instansi pemerintah sarat dengan perilaku-perilaku koruptif. Setiap hari kita disuguhkan kabar tentang tertangkapnya pejabat pegawai negeri sipil karena korupsi. Tidak mengherankan jika saya punya pandangan demikian. Mengingat, wilayah-wilayah profesi macam PNS, pejabat politik, merupakan lahan basah dan rawan KKN.

Syukurlah, saya berada di tempat itu, setidaknya walau  bukan semua, saya masih temui orang-orang jujur. Setiap hari, pekerjaan Pak Te kebanyakan di luar kantor, melakukan penagihan pajak dan saya sering ikut beliau. Dalam penagihan pajak ini, Wajib Pajak yang belum/tidak membayar sendiri ke kantor, akan diberikan Surat Tagihan Pajak (STP). Dan yang menyampaikan STP adalah petugas penagih pajak. Biasanya, Wajib Pajak enggan membayar pajak sendiri dengan datang ke kantor. Saat disampaikan STP di rumah atau tempat usahanya, mereka merasa sangat terbantu oleh kedatangan petugas. Ketika menerima STP, mereka biasanya langsung "membayar". Dalam artian Wajib Pajak menitipkan uang pajak ke petugas. Selanjutnya petugaslah yang membayarkan ke kantor pajak. Sebenarnya, pada kasus ini, sistem pemungutannya memakai self assessment yakni Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk menyetor, membayar, dan melaporkan pajaknya sendiri.
Menitipkan uang pajak kepada petugas inilah yang jadi wilayah potensi perilaku koruptif.

Kecurigaan saya luntur ketika tiap hari saya jalan dengan Pak Te ini, beliau tidak mau sepeser pun menerima/mengambil/memakai yang bukan haknya. Beliau waspada jika nanti sampai masyarakat menganggap petugas itu bisa dibeli, termasuk dirinya juga akan tidak dipercaya masyarakat. Setiap kata yang terucapnya akan di abaikan orang lain. "jujur itu penting le, supoyo omongan iku metu ajine" , begitu wejangannya kepada saya.

Pak Te, di kalangan masyarakat dikenal orang yang jujur, mudah bergaul. Betapa tidak, dimanapun saya pergi sama beliau, setiap kali lewat warung atau tempat makan di jalan di sapa, kita di ajak untuk makan (gratis). Hhe..

Pak Te, saya mau main ke rumah njenengan di minggu-minggu ini, tapi karena ada acara di Malang, saya tunda sebentar ya. Hhe.. Semoga njenengan sehat selalu

Jumat, 16 Oktober 2015

Waktu

Ada orang yang merasa hidupnya selalu dikejar-kejar waktu. Tidak sabaran menunggu lampu merah berubah jadi hijau ketika di jalan misalnya, sehingga saat masih lampu baru mulai berganti, bunyi klakson sudah bersiul-siulan. Seolah yang belakang berteriak "woy.. Yang depan buruan, gua mau lewat nih". Padahal, toh juga sama saja, ketika lampu hijau, semua pengendara juga akan melaju satu-persatu, walaupun tanpa ada bunyi klakson-klakson itu.

Seringkali kita merasa diburu waktu, seolah waktu selalu habis. Kita sedih, merasa waktu begitu cepat berlalu. Tapi, pernahkah kita berhenti sejenak bertanya, apa sesungguhnya waktu itu?

Konsep waktu tidak sesederhana seperti kita melihat pukul berapa sekarang menurut jam tangan yang ada di pergelangan. Waktu bukanlah gerakan jarum atau angka di jam digital anda. Nah, ternyata ini semua soal pemaknaan kita terhadap konsep waktu.

Dulu, konsep waktu diciptakan manusia untuk mempermudah hidup. Misal, ketika membuat janji dengan orang lain, merencanakan suatu tindakan, atau sebagai penanda suatu peristiwa yang telah terjadi.

Kemudian, mengenai persepsi terhadap waktu. Kemampuan mempersepsi waktu inilah yang membedakan manusia diantara yang lainnya, menunjukkan kualitas bagaimana ia beradaptasi dengan lingkungannya.

Misalnya, saat kita berhadapan dengan kemacetan di jalan, kita akan merasa waktu bergerak sangat lambat. Detik berasa jam.. Hhe
Apalagi jika tujuan kita itu sifatnya urgent. Sebaliknya, saat berlibur, tanpa terasa waktu tiba-tiba habis dan kita harus cepat pulang. Dua  hal itu menunjukkan durasi waktu itu bersifat subjektif. Tergantung emosi kita. Kenapa bisa begitu?

Menurut penelitian, persepsi kita terhadap waktu itu dipengaruhi oleh serangkaian proses fisiologis dan kognitif sehingga persepsi kita terhadap waktu itu jadi bias. Menurut Prof Dan Zakay, seorang ahli psiko kognitif, bahwa manusia memiliki kewaspadaan terhadap lintasan waktu yang dipengaruhi tuntutan atensi. Misal, saat kita menghadiri acara yang membosankan, perhatian (atensi) kita terhadap durasi waktu akan menjadi tinggi, kita terfokus pada waktu. Sehingga durasi waktu terasa lebih panjang. Sebaliknya saat kita liburan, kita tidak lagi memberikan atensi yang berlebihan terhadap waktu. Sehingga pagar atensi itu menyempit dan waktu berjalan seakan lebih cepat. Padahal dalam realitas, waktu itu bersifat netral terhadap aktivitas. Aktivitas hanya membutuhkan durasi, durasi itu lalu diukur dengan satuan tempo: detik, menit, jam. Sedangkan "lama atau cepat", itu adalah label yang kita buat sendiri tergantung suasana emosi. Jangan bersedih..

Lalu bagaimana cara kita mempersepsi waktu yang lebih panjang sekaligus menikmati kegiatan tanpa diburu waktu?

Cobalah memberikan atensi pada stimuasi internal (napas) anda, dengan begitu, semoga persepsi kita terhadap waktu menjadi luas. Kita tidak merasa dikejar waktu, sekaligus kita mampu mengalokasikan lebih banyak sumber daya atensi untuk menyelesaikan tugas-tugas kita. Dan kita mampu menikmati selama prosesnya.

Nah, apakah pagi ini anda sedang buru-buru pergi ke kampus/ kantor? Hhe..

Selamat pagi..

Kamis, 15 Oktober 2015

Multitasking

Apakah benar kita bisa melakukan multitasking? Sekalipun sering dikatakan bahwa perempuan dapat melakukan lebih banyak pekerjaan  dalam waktu yang bersamaan ketimbang pria.

Otak kita tidak mampu memerhatikan lebih dari satu aktivitas kompleks pada saat yang bersamaan. Sebenarnya, ketika multitasking, logika kerja otak kita adalah konsentrasi yang berpindah dengan cepat, dari satu aktivitas ke aktivitas lain—bukan memerhatikan segala hal dalam waktu bersamaan.
Saya sendiri adalah orang kemarin yang memaksakan kerja otak seperti itu. Tidak heran kalau saya cepat kelelahan. Kebiasaan saya seperti sarapan sambil baca koran, belajar sambil chatting-an, mendengarkan sambil laptop-an jadi penyebab energi pikiran saya cepat terkuras. Akhirnya, terkadang saya sudah kelelahan duluan, sedang pekerjaan mangkrak di tengah jalan.

Saat sarapan, perhatian saya tersita oleh berita koran soal bencana asap, riuhnya Pilkada, sampai kemelut revisi RUU KPK. Saya lupa menjadi tidak melihat perjalanan hidup saya sendiri dengan segala yang ada di depan. Banyak ketidaksadaran yang saya lakukan, saat kembali pada saat ini, ternyata sudah sekian banyak hal di sekeliling yang harusnya jadi perhatian tetapi saya lewatkan. Pernahkah anda mengalami hal seperti itu?

Menetap, tinggal diam, dan bersembunyi di masa lalu, serta terlalu berkhayal akan masa depan, hingga lupa menyadari keberadaan diri dan kesadaran diri untuk hadir utuh disini, masa kini untuk bersyukur. Sarapan pagi ini semoga jadi kesempatan saya untuk belajar melatih kesadaran. Mungkin istilah lainnya yakni khusyu’ dalam  pekerjaan apapun, termasuk makan. Dalam hal yang lebih serius pun seperti ibadah—sembahyang— bukankah kita telah dianjurkan untuk hadir utuh? Sedangkan pikiran seringkali terbang.

Saat makan, hanya makanlah. Saat baca koran, hanya bacalah koran. Saat mendengarkan kawanmu bicara, hanya dengarkanlah.  Sepertinya sangat sederhana, tapi bermakna dalam. Ya, biasanya kita sering bertemu dengan pemaknaan yang dalam justru di dalam kesederhanaan.


Saat membaca tulisan ini, apakah sampean juga sedang melakukan hal yang lain?
Hhe..

Kadang kita perlu duduk sejenak merangkul diam,
Tidak terperangkap masa lalu, tidak juga mengembara ke masa depan”
-          Adjie S.









Rabu, 14 Oktober 2015

Hukum Alam

Socrates pernah berkata, "Alam adalah manusia besar, dan manusia adalah alam kecil".

Kabarnya, hukum alam merupakan hukum tertua yang lebih dulu ada sebelum semua jenis hukum. Hukum itu seperti halnya, manusia tidak bisa bertahan hidup lama ketika menyelam di dalam air, sebab hukum itu diberikan pada ikan. Tidak bisa manusia terbang (tanpa alat), sebab hukum itu telah diberikan kepada burung. Ia adalah hukum kekekalan, siapa saja yang ingin kekal, maka kita hendak disuruh meneladaninya. Siapa yang menentangnya, dia akan mati. Seperti manusia tidak dapat hidup dalam kotak kayu tanpa ada celah udara yang masuk ke dalam kotak. Akhirnya kita hidup di garis hukum alam yang telah ditetapkanNya.

Hukum alam juga tak lekang oleh zaman. Sedang hukum manusia selalu berubah sesuai tafsir menurut kepentingannya.

Sampai saat ini, mungkin saya harus cukup merasa puas tentang mengapa ada orang yang hidupnya secara materi berkelimpahan, sedang banyak yang lain terpaksa hidup di bawah kemelaratan. Tentu itu bukan takdir Tuhan. Melainkan akibat hukum alam, hukum yang diciptakan Tuhan. Karena akibat, kita lalu mencari sebab, dari sebab itulah kita mendapati musabab.

Hari ini saya melihat kemelaratan- pengemis kecil yang selalu meramaikan perempatan lampu abang. Di mall, saya melihat orang sedang menjajakan berlian hanya untuk mereka yang ber-uang.

Apa ada yang salah dengan pemandangan semacam itu? Saya tidak hendak menghujat hukum alam. Sebab, "alam kecil' ini lah yang pantas ditanyai perkara itu.

Bagaimana pendapat anda soal pemandangan tangan renta yang tiba-tiba menjulurkan tangannya di depan anda?
Senyumannya telah berkata-kata tanpa ia bersuara.

Selasa, 13 Oktober 2015

Senin, 12 Oktober 2015

Pungtuasi

Bahasa terdiri dari dua aspek: bentuk dan makna. Dalam hal bahasa lisan yang disalin ke bahasa tulis, ada beberapa aspek yang tidak dapat dengan mudah di 'terjemahkan' ke bahasa tulis, misalnya intonasi (unsur suprasegmental). Intonasi atau penekanan suara dapat dengan mudah disampaikan lewat bahasa lisan. Maka aspek makna dapat dengan mudah dipahami. Berbeda dengan bahasa tulis, intonasi suara tidak tersurat pada aspek bentuk: fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat dan wacana (unsur segmental). Kemudian diciptakanlah pungtuasi atau tanda-tanda baca sebagai hasil usaha menggambarkan "unsur suprasegmental" yang tidak dapat digambarkan di bahasa tulis tadi.

Saya punya pengalaman menarik soal pungtuasi ini. Walaupun sepertinya hal yang remeh-temeh, tapi jika kita tidak pandai menggunakannya secara sadar, bisa saja komunikasi kita terhadap orang lain tidak berjalan dengan efektif -- bahasa atau maksud kita menjadi sulit dipahami oleh orang lain-- di dalam komunikasi bahasa tulis seperti SMS atau layanan chatting.

Misalnya, ketika saya sedang ingin bercanda dengan salah seorang kawan dengan menggunakan "nada" bicara seolah-olah menuntut kawan itu untuk bisa menjawab pertanyaan saya. Tapi, keterbatasan saya menggunakan pungtuasi itu atau karena saya mengabaikan peranannya di bahasa tulis, akhirnya, "nada" bercanda itu tidak tersampaikan. Alhasil, kawan itu marah-marah kepada saya karena cara saya bertanya menurutnya adalah tidak sopan. Haduh!
Mungkin akan berbeda jadinya jika itu disampaikan lewat bahasa lisan. Akan menjadi efektif, karena lawan bicara juga akan membaca air muka (ekspresi wajah, kerutan alis, nada bicara) saya.

Perkembangan teknologi sekarang sebenarnya juga sangat membantu pola komunikasi kita sehari-hari. Ekspresi kita telah difasilitasi oleh emoticon-emoticon yang unik dan tiap hari tambah banyak. Sejak booming-nya aplikasi chatting, emoticon telah ber-evolusi menjadi karakter-karakter lucu dan unik. Tapi, entah sebenarnya emoticon unik-unik itu apakah juga secara fungsional dikategorikan sebagai pungtuasi--membantu mengejawantahkan unsur suprasegmental yang tak terbaca dalam teks biasa-- dalam bahasa tulis.

Nah, apakah anda termasuk orang yang sering menggunakan emoticon saat chatting?
Kalau saya sih jarang memakainya. Saya sering memakai dua titik di akhir kalimat saya ketika sms atau chatting. Jika satu titik dipakai untuk mengakhiri kalimat (komunikasi), dua titik artinya adalah saya masih ingin melanjutkan chatting (makna yang saya buat sendiri) bukan makna sebagai konsensus yang telah disepakati banyak orang. Hhe.. Maka pungtuasi dalam kasus ini, munurut saya bersifat arbitrer. Lalu saya gunakan sebagai identitas saya ketika berkomunikasi non formal via chatting supaya tidak mudah dibajak orang lain. Hhe..

Kalau anda seperti apa?

Minggu, 11 Oktober 2015

Sibuk!

Minggu ini jadi sibuk betulan lalu jadi terlalu lama nggak nulis di sini. Hhe..(masih saja beralasan) tadinya mau berhenti nulis disini, tapi ada salah satu kawan yang menurut pengakuannya tulisanku disini bukan tulisan bodong atau sampah. Jadi lebih baik terus nulis, begitu katanya.

Oke, minggu depan sepertinya juga akan sibuk, alhamdulillah penggarapan majalah kampus rampung dengan serentetan rintangan yang ada. Sekarang, tinggal tunggu hasil cetak.. Semoga lancar sesuai harapan.
Selanjutnya apalagi?

Agenda organisasi masih lumayan banyak, saya masih harus merampungkan baca beberapa buku minggu ini, dan menulis resensi dari salah satunya. Lusa harus bolak-balik Malang-Pasuruan karena ada janji dengan dosen pembimbing magang. Sekaligus pengajuan judul & konsultasi skripsi. Hadeh..
Satu lagi, bulan oktober (momen sumpah Pemuda) mau buat sesuatu, masih berencana. Tunggu tanggal mainnya. Hhi..

Jangan Ngeluh
Sub judulnya sudah jelas. Jadi masuk di paragraf ini nggak usah terlalu banyak karakter.   Semoga dengan judul "sibuk!" Ini tidak membuat saya berhenti nge-blog.. Oke, ini bukan kalimat keluhan kan? Hhe..

Apakah anda juga "sibuk!"?

Selasa, 22 September 2015

Default

Sejak instalasi pertama  ketika komputer baru diaktifkan, disana dimuat program awal (default) yang secara standar digunakan untuk mengerjakan perintah user. Sejak kita dilahirkan pertama kali di dunia, disana juga sudah tersimpan sebuah program default kita sebagai manusia; menginginkan kebahagiaan, menghindari kesengsaraan.

Sebuah komputer dengan kemampuan cerdas jika hanya di install program default, hasil kerjanya akan tidak akan maksimal. Sebuah komputer bisa mengoperasikan banyak hal sesuai program yang dipasang dalam perangkatnya. Maka, agar dapat melakukan banyak hal, kita harus menginstall aplikasi sesuai kebutuhan tujuan kita itu.  Maka, agar dapat mengerjakan banyak hal, kita harus merombak program default pikiran kita dengan mengambil resiko bahwa kita akan menghadapi kesukaran, kesusahan, bertemu kesengsaraan yang jika oleh pikiran default kita, akan dihindari.

Logika sederhana yang muncul sesaat bangun tidur. Hhe..
Hari ini banyak aplikasi yang mestinya harus saya install di laptop. Maklum kemarin gara-gara kena virus, jadi harus install ulang windows..hadohh

Don’t set default your mind

Jumat, 14 Agustus 2015

JUMATAN

Shalat jumat siang tadi berbeda dengan jumat sebelum-sebelumnya, ada hal yang mengusik saya, ya mungkin shalat saya berarti tidak khusu'. betapa tidak, tepat disampingku ada anak kecil yang belum jelas bicaranya, ia bersama ayahnya yang, anak kecil itu sempat membuat ramai  masjid ketika shalat jumat sedang dilaksanakan.

Suaranya yang keras sampai membuat bacaan imam agak kurang terdengar di telinga. Bahkan, imam pun berhenti sejenak ketika akan membaca surat pendek di rakaat kedua. bukan jeda yang biasa, mungkin sang imam menunggu suara anak kecil yang merengek kepada ayahnya itu sampai berhenti, kemudian melanjutkannya. Tapi rengek-an itu terus melonglong saja. Ah pikir saya malah juga ke anak itu. suara itu makin keras, lalu si anak menangis sambil duduk di pangkuan ayahnya saat duduk tasyahud. ada hal yang mengusik perhatian, suaranya yang samar (karna belum jelas berbicara) dari rakaat awal sampai kedua, saya mencoba menerka sebenarnya apa yang diucapkan anak itu, sampai akhirnya ketika shalat selesai aku baru menyadarinya.

Sepertinya ia mau bilang begini... "Yahh.. ayahh, uangnya dimasukin kemana? , kata-kata itu ia ulang-ulang sampai mengeras dan akhirnya diimbuhi tangisan yang membuat jamaah seisi masjid menoleh ke arah saya sesaat setelah salam. ia ternyata sambil memegang uang infaq, yang akan ia masukkan ke kotak amal. Begitu polosnya anak itu, mungkin ia juga belum mengerti tentang sedekah atau infaq, yang pasti ia tau jika uang yang dipegangnya harus ia masukkan ke dalam sesuatu (kotak amal). Pertanyaanya tak dihiraukan sang ayah karena sedang menghadap Rabbnya. Sampai sesaat saya menduga bahwa ayah itu akan membatalkan shalatnya di tengah-tengah rakaat.

Tapi ternyata tidak.
Hal ini mengingatkan saya pada Ibrahim yang lebih cinta pada Tuhannya ketimbang anaknya sendiri. Bahkan rela menyembelih anaknya sendiri (Ismail AS) ketika itu demi memenuhi perintah Tuhannya Ibrahim, Tuhan semesta alam. Sepertinya, sudah menjadi hukum bahwa kemuliaan tidak bisa dicapai tanpa adanya pengorbanan. Dan pengorbanan yang tulus itu seharusnya tidak diakui sebagai pengorbanan (saya sudah berkorban ini dan itu). Sebab pengorbanan yang diakui artinya ia tidak melakukan pengorbanan, melainkan menghitung-hitung. Surga itu mahal bung!

Sudahkah kita?

Minggu, 09 Agustus 2015

Lebah


Biarkan aku meraih kemuliaan yang belum tergapai. Derajat kemuliaan itu mengikuti kadar kemudahan dan kesulitannya. Engkau kerap ingin mendapatkan kemuliaan itu secara murah. Padahal pengambil madu harus merasakan sengatan lebah. 

Selasa, 07 Juli 2015

Manusia dan Pohon

"Dapat tumbuh di tanah yang gersang lebih baik ketimbang 
tumbuh di tanah yang subur banyak gulma."

            Mungkin ungkapan itu cukup untuk menggambarkan kondisi saya ddengan lingkungan saya. Sebuah keyakinan bahwa lingkungan yang serba kekurangan menggembleng mental lebih baik daripada keadaan yang serba berkecukupan.  Bukan berarti yang serba kecukupan itu adalah bukan tantangan bagi penggemblengan diri menuju kematangan berpikir dan bersikap. Tapi, secara reflektif keadaan yang kekurangan itu dapat memacu adrenalin untuk bisa survive di tengah keadaan yang “gersang”.  Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama,  dapat survive bahkan melejit pada sebuah kemapanan, kemungkinan kedua yakni chaos ketika berhenti dan menyerah pada keadaan.
Manusia ketika dihidupkan dari alam rahim seorang ibu tidak bisa memilih ibu mana yang akan menjadi ibunya. Pun keluarga seperti apa yang sampai mati ia akan tetap tumbuh dalam keluarga itu. Apakah keluarga kaya, atau keluarga yang serba kekurangan (miskin). Ada juga manusia yang, saat dewasa memilih lingkungannya sendiri. Dari yang kaya menjadi yang miskin, dari yang miskin ingin jadi kaya. Dan seterusnya. Toh juga siklus hidup juga seperti roda menggelinding. Kadang posisi kita diatas kadang ada di bawah. Tergantung kita bagaimana menggelindingkan roda itu cepat atau perlahan.

            Satu lagi, ada yang berada posisi netral yang bingung menetukan di mana, di lingkungan seperti apa ia akan hidup. Pada posisi ini seorag tersebut tidak bisa harus berada disitu pada waktu yang lama, ia haru s memilih salah satunya. Ibarat pohon, memilih di tempat yang gersang atau yang basah penuh gulma tersebut. Di tempat gersang, tidak tumbuh gulma. Karena umumnya tanaman gulma tidak tahan panas, ia cepat mati jika berada di tempat yan panas. Tantangan terberat jika di tanah gersang adalah bagaimana bisa bertahan hidup dengan ketersediaan air (sumber kehidupan) yang minim. Mungkin akar pohon itu menunjang, menukik kebawah sampai dalam untuk mencari air. Itu sebabnya pohon di tanah gersang akarnya kuat tertanam. Pohonnya tidak mudah dirobohkan sebab tanahnya juga keras. Jika dilihat pohon itu gagah walaupun tampak kering. Berbeda dengan pohon yang ada di tanah yang gembur berkecukupan air. Pohonnya hijau berair, subur tapi akarnya tidak dalam menukik tanah. Ia hanya membesar di bagian atasnya dan menjulur melebar. Di masa kecilnya, tantangannya adalah gulma (tanaman pengganggu). Pohon itu harus berperang merebutkan sumber air. Jika kalah, ia akan gagal menjadi pohon yang besar. Ketika ia berhasil tumbuh besar, tantangannya adalah angin. Semakin tinggi pohon tumbuh, semakin kencang angin yang menerjang. Karena tanah di bawah sangat gembur, ia rentan untuk roboh, karena akar tak kuat mencakram tanah yang mudah lebur.

           Setiap lingkungan dimana pohon tumbuh, disana sudah disiapkan berbagai macam keperluan yang dibutuhkan. Dan setiap pohon secara hukum alam akan otomatis mengikuti jalannya dimana ia tumbuh. Sayangnya ada perbedaan manusia dengan pohon. Yaitu pilihan. Manusia bisa memilh di mana ia akan tumbuh, bergonta-ganti, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Sedangkan pohon tidak. Sayangnya kita diciptakan sedemikian istimewanya dengan piranti lengkap yang menempel pada tubuh kita. Tergantung kita memakainya atau tidak. 

Sayangnya pohon tidak dibekali akal pikiran untuk sampai memikirkan ke hal ini.




Senin, 06 Juli 2015

Coretan Semrawut itu Scribble Namanya



Lagi iseng buat sketsa pakai teknik scribble tadi pagi, eh banyak juga yang apresiasi.
Teknik oret-oret sembarangan yang terkesan semrawut ini ternyata bila dipadu dengan emosi yang pas, bisa menghasilkan karya yang menarik. Aliran coretan ujung pena seperti mengikuti emosi orang yang memegangnya. Menurut salah seorang ahli yang saat ini sedang menekuni teknik scribble, Rachmad Priyandoko dalam situs berita yang saya baca mengatakan bahwa, teknik ini biasanya dipakai untuk melampiaskan emosi yang memiliki nilai seni tinggi. Teknik scribble merupakan coretan mengekspresikan pikiran, baik kekesalan, kejengkelan, kebahagiaan, kerinduan, maupun harapan.

Secara tidak sadar saya dulu cenderung memakai teknik scribble juga ternyata. Setelah saya cari di laptop, saya nemu ini>> scribble


Rabu, 03 Juni 2015

Lapor Pak!

Lapor Presiden!

Baru-bari ini saya nemu satu situs untuk berkeluh kesah soal masalah-masalah yang ada di negeri ini kepada presiden. Lewat situs tersebut, rakyat bisa mengajukan laporan terkait masalah” yang terjadi di Indonesia. Walaupun terbilang baru, hal ini mungkin bisa dimanfaatkan sebagai bentuk pengawasan terhadap jalannya pemerintahan sekarang. Mengenai efektif tidaknya kita lihat saja nanti, yang pasti dengan perkembangan teknologi, media sosial menjadi tren komunikasi masyarakat kita saat ini. Termasuk cara kita berkomunikasi dengan pemimpin negeri. Buka situsnya disini: Lapor Presiden

Nah lho, sekarang kamu jangan macem-macem, saya laporkan Presiden baru tau rasa!
Hhe..


Selasa, 02 Juni 2015

Multitasking

Melakukan beragam aktivitas dalam waktu bersamaan seperti memasak, nonton televisi, sambil menggendong bayi lalu sambil smsan sekaligus ngobrol sana-sini saya kira hanya bisa dilakukan oleh ibu. Entah sadar atau tidak mereka-para perempuan- dapat diandalkan daripada pria untuk melakukan pekerjaan dalam waktu yang bersamaan (multitasking). Kabarnya hal itu karena sambungan antara otak kanan dan otak kiri pada wanita lebih banyak daripada pria. Sebab dari itu wanita dianggap lebih bisa multitasking daripada pria.

“Rul..”
“Hmm..”
“Dengerin ta aku lagi ngomong.. bla.. bl.. bla.. p x l x t..”
“Iya.. (sambil ngetik nulis blog. Hhi..).”
“Kebiasaan! Kalo udah ngerjain sesuatu gak bisa diajak ngobrol kamuu..”
“Hmm?..”
"^*)(^&^%&)^%&...
Saya sering kaya gitu kalau sudah fokus ngerjakan sesuatu, trus diajak ngobrol sama orang.. hhe
Kadang teman saya jengkel, tapi kalau sudah kenal mungkin mereka memakluminya. Multitasking itu tidak gampang, juga tidak sesulit kalau tau cara melakukan da nada kemauan yang kuat untuk disiplin waktu. Dalam level pekerjaan tertentu, setiap orang punya tanggung jawab yang berbeda-beda, sesuai kapasitasnya. Ketika naik pada level yang lebih tinggi, beban pekerjaan juga akan semakin banyak. Berikut tips untuk membantu bagaimana cara kita agar bisa multitasking. O iya, cara ini juga sedang saya pakai sekarang untuk mengelola waktu penyelesaian tugas-tugas saya yang semakin menumpuk. Hhe.. *sok sibuk

1. Perkirankan lama waktu untuk menyelesaikan tugas
2. Jangan terpaku pada lama waktu estimasi pengerjaan
3. Kerjakan tugas sesuai skala prioritas
4. Kerjakan tugas dengan disiplin yang ketat dan tepat. usahakan tidak tergoda dengan gadget
5. Kersikap efisien. berpikir mudah dan praktis

Saya teringat kalau tidak salah pernah ada huruf-huruf yang terjahit dan terbaca begini,

 “Orang besar tidak pernah kehabisan waktu. Orang besar mengelola waktu.” 

Semoga kita tidak pernah kehabisan waktu

Minggu, 17 Mei 2015

Ngobrol dengan Buku

Berapa buku yang anda habis baca dalam setahun? Lima, sepuluh, dua puluh, tiga puluh atau lima puluh buku?

Pertanyaannya sebetulnya bukan terkait berapa huruf, kata, kalimat yang masuk ke dalam otak melalui indera kita. Tapi seberapa kita berminat atas setiap huruf yang terangkai jadi kata, lalu kata teruntai jadi kalimat saat membaca? Tidak semua orang membaca dengan minat. Maksud saya membaca dengan memberikan ruh di setiap kalimatnya. Mencoba berdiskusi dengannya, tentu hanya secara imajiner belaka. Kira-kira sampai pada maksud si penulis buku atau bacaan yang dibaca. Saya suka membaca ketika sudah mencari informasi si penulisnya. Jadi ketika membaca, saya membayangkan seolah sedang ngobrol dengan penulis/ orangnya. Biasanya informasi tentang penulis ada di halaman terakhir buku. Jadi saya awali dengan membuka halaman terakhir dulu sebelum masuk ke dalam isi buku. Ini soal cara, setiap orang punya caranya sendiri.

Saya suka ngobrol. Tapi bukan ngobrol dengan lembaran-lembaran naskah yang dijilid jadi buku itu. Hhi…


Selamat Hari Buku

Sabtu, 16 Mei 2015

Takjub

Perjalanan  itu dilakukan  malam hari, kurang dari satu malam, sebuah perjalanan horizontal-vertikal  yang kemudian menjadi kisah yang menakjubkan  sampai sekarang. Takjub karena perjalanan horizontal dan vertical itu hanya dilakukan dengan waktu yang singkat. Sebuah perjalanan spiritual dari masjidil haram ke masjidil aqsa (horizontal) lalu berlanjut ke sidratul muntaha, tempat yang tinggi  (vertikal). Saat itu, secara ilmiah sulit untuk dipercaya perjalanan seperti itu bisa dilakukan. Walaupun percaya sebenarnya kadang tak perlu tahu lebih dulu. Sebagai umat Nabi Muhammad SAW, saya wajib mengimaninya. Tapi, setelah ilmu pengetahuan berkembang, ternyata perjalanan seperti itu sangat mungkin dilakukan. Itu sebabnya kisah itu menjadi inspirasi bagi pengembangan teknologi pesawat supersonik.

Ya, salah satu cara menikmati alam dunia ini adalah dengan takjub. Alangkah sedih misalnya jika saya sudah tidak bisa takjub lagi dengan apa-apa yang menjadi ciptaanNya. Sebuah semiotika (tanda) kebesaranNya.

Setiap tahun, di sekolah saya selalu memperingati perjalanan yang sering disebut isra’ mi’raj itu. Tapi keadaan yang terus berulang itu tak kunjung menimbulkan apa-apa bagi saya. Tak lebih dari sebuah cerita yang ditulis setiap tahun menjai tema dan bahan ceramah ustadz di dalam peringatan. Tidak berarti apa-apa buat saya karena merasa kalau memposisikan Nabi itu bukan manusia laiknya manusia biasa, mungkin kata “manusia langitan” menurut saya saat itu. Sehingga hal itu wajar, dan menjadi biasa-biasa saja. Tidak ada ketakjuban perjalanan yang ajaib bisa dilakukan oleh manusia langitan.

Sampai suatu ketika saya mencari tahu siapa Muhammad-tokoh utama dalam perjalanan mendaki itu- membuka rasa takjub dalam diri saya. Apakah sesuatu yang dianggap luar biasa jika diulang-ulang tanpa pemaknaan akan membuat  menjadi biasa-biasa saja? Ah ini seperti pertanyaan seorang filsuf saja. Tapi pantas saja cerita tentang isra’ mi’raj yang setiap tahun saya dengar lewat ceramah seorang mubaligh di SD, SMP, SMA, atau di lingkungan kampung saya ya seputar itu-itu saja. Tentang perjalanan Rasullullah dari masjidil haram ke masjidil aqsa lalu naik ke langit tujuh menghadap langsung ke haribaan Allah SWT, menerima wahyu secara langsung yakni perintah shalat lima waktu. Praktis jika sampai disitu saja, hal itu tidak menjadi luar biasa. Tidak ada ketakjuban. Saya menuntut ketakjuban

Maka perlu pemaknaan dari suatu kejadian. Kejadian yang memang membutuhkan ruh supaya kita mendapat  hikmah (pelajaran) dari peristiwa (tanda-tanda). Salah satunya adalah memunculkan perasaan takjub.  Di era informasi yang  serba cepat seperti sekarang sepertinya dunia mengalami krisis takjub (pemaknaan). Kita tidak sempat memikirkan sejenak tentang semiotik suatu peristiwa. Alih-alih takjub tentang hal kebendaan.

"Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami." (QS. Al Isra ayat 1)

Lewat perasaan takjub, berarti kita telah mengimani sebab dari kejadian, mengakui kebesaran Allah SWT. Saya takut kalau sampai tidak punya rasa takjub, karena melihat bahwa bagi Allah itu biasa. Jadi bukan suatu yang istimewa lagi. Bukankah yang seperti itu merupakan suatu kesombongan. Seperti cerita tentang seorang yang sombong ingin melihat wujud Tuhannya. Jangankan melihat Tuhan, untuk melihat jitok (leher bagian belakang) diri sendiri saja tak mampu. Adakah orang yang bisa tanpa alat bantu? Sepertinya kita harus memutar kepala dulu (dalam artian yang sebenarnya) untuk melihat jitok kita itu. Hhe..


Pemaknaan yang sederhana. Tapi sudahkah kita pernah takjub mengetahui peristiwa tanda-tanda itu? Jangan-jangan kita malah melewatkannya.  

Kamis, 14 Mei 2015

Melihat-lihat Kampung Kota


Ruko MX Mall, Jl Veteran, Malang 









Ruang Berruam



Kampoeng Jl. Embong Brantas, Malang 14 Mei 2015

"Jadi apa itu Tubuh tanpa Organ? Tapi kamu sudah di dalamnya, menggeliat seperti kutu, meraba-raba seperti orang buta, atau berlari seperti orang sinting; pengelana gurun dan nomaden stepa. Di dalamnya kita tidur, menghidupi hidup yang terbangun, melawan-lawan dan melawan-mencari tempat bagi kita, mengalami kebahagiaan tak terbilang dan kekalahan hebat; didalamnya kita menerobos dan diterobos; di dalamnya kita mencinta. . .  TtO: ia datang saat tubuh telah berkelebihan organ dan dia ingin menanggalkan, ingin melepaskan."
Deleuze & Guattari, A Thousand Plateaus, 1987. Hal 150

Melihat kampung lalu kota, hidup kecil di kampung lalu besar singgah di kota. Jadi memgagumkan saya atas bangun arsitektur yang saya lihat di kampung dan kota. Di kampung saya melihat kolektivitas, gotong royong. Warganya jadi arsitek, bangun arsitekturalnya tumbuh sporadis. Di kota juga ada kampung. Kampung yang membangun kota. Arus urbanisasi telah jadi bukti kemenangan individualisme yang melazim di kota.

Lucunya, saya telah masuk di separuh penghuni bumi yang terkategori urban itu. Orang yang ingin melihat ribuan plato, melihat design Tubuh tanpa Organ (TtO). Seperti telur dalam proses menjadi. Ia bukan sebuah organisme, juga bukan sebuah organisasi. Melainkan sebuah ruang. Ruang berruam bagi eksperimen organ berlainan dan organisasi yang berlainan.

Liburan minggu ini mau kemana ya, sepertinya saya punya rencana melihat ruang- ruang kampung dan kota. Ada yang punya rencana lain? Barangkali ada yang berwisata spiritual..hhi
Karena ada yang unik hari libur di bulan Mei tahun ini. Tepatnya minggu ini. Dua agama berbeda yang lahir dari bapak moniteisme yang sama (nabi Ibrahim as) merayakan peristiwa penting  di tanggal yang berdempetan. "Kenaikan Isa Almasih" (14/5) dan "Kenaikan Muhammad SAW" (16/5). Mungkin saya juga perlu berziarah sejarah dari peristiwa itu. Hhi..

Selamat berlibur..

Rabu, 13 Mei 2015

Potret Diri

“Yang kau perlukan dalam hidup ini hanyalah ketidaktahuan dan kepercayaan diri, setelah itu keberhasilan pasti datang” - Mark Twain

Bagian tersulit dan menyenangkan kadang menggelikan, kadangpula memalukan adalah melihat diri sendiri. Mengenali diri sendiri, berkenalan dengan diri sendiri membayangakan menjadi diri yang lain lalu berusaha mengenal diri yang kita anggap adalah diri kita sendiri.

Adakah memang benar diri kita adalah yang tampak dan terlihat seperti di cermin itu. Apakah yang kita lihat hanyalah bayangan belaka, lalu yang sebenarnya dari diri kita seperti apa. Kalau jiwa adalah kekal dan abadi, ada bahkan sebelum ia mengisi raga yang bisa rusak lalu mati dan busuk ini, bagaimanakah ia. Apakah kau tentu mengenalinya.

Di kelas public speaking, minggu ini saya dapat tugas untuk mengenal karakter tiga orang teman.
Menyenangkan! Hhe…Tapi, sebelum mengenal orang lain, baiknya saya harus menetapkan bagaimana potret diri saya sendiri. Tentu ini tidak akan mudah. Hadeh… Adakah yang mau membantu saya?

Senin, 11 Mei 2015

Sketsa Pagi



“Ketika matahari terbit, ia terbit untuk semua orang” -peribahasa Kuba

Selamat pagi kau manusia pagi.

Ucapan yang remeh-temeh setiap ketika si Jago mulai berkokok tidak ingin selalu tersampaikan lewat pesan di layar kecilmu. Saya ingin mengetikkan lagi. Tapi, ah mungkin kamu akan bosan. Atau saya yang-mulai bosan mengetikkannya walau sebenarnya ingin mengucapkan. Saya tak akan pernah bosan mengulang salam pagi. Bagi sebagian orang mungkin menjadi terbiasa mengucapkan selamat pagi atau menerima ucapan itu dari orang lain. Karena saking seringnya, ada yang menganggap tidak ada istimewanya antara selamat pagi hari ini, selamat pagi besok pagi atau ucapan selamat pagi kemarin pagi. Tapi saya bersyukur masih bisa mengucapkan selamat pagi setiap pagi. Kadang ada yang hanya saya ucapkan tapi tidak saya tulis dan saya tanda tangani.

Saya ingin belajar dari  matahari-ah ini mungkin sedikit konyol- yang terbit setiap pagi. Sinarnya tetap sama terangnya setiap pagi, pagi yang kemarin, tadi pagi, bahkan besok pagi. Kalaupun kadang kamu melihat pagi yang redup, itu bukan karena ia berkurang cahayanya ke bumi. Tapi kamu menjawab karena ada awan saja yang menghalangi pandanganmu yang disinari. Matahari, sepertinya tak akan pernah bosan memberimu pagi.

Selamat Pagi..

Minggu, 10 Mei 2015

Apakah kita benar-benar memiliki?


Kehilangan sesuatu yang kita miliki pasti sedih rasanya bagi kita, bayangkan saja kalau semisal benda kesayangan pemberian orang yang kita anggap penting, betapa menyesalnya kita karena kejadian itu. Bahkan ketika kita kehilangan uang yang tidak seberapa jumlahnya kadang sampai nangis menyesal. Apalagi kalau kita kehilangan seseorang yang kita cintai, orang-orang di sekeliling kita yang kita sayangi. Bagaimana perasaan kita? Benarkah kita harus menyesali hal itu? Apakah memang sebenarnya kita benar-benar memiliki, maka pantas kita menyesal jika sesuatu itu hilang dari penguasaan kita?.
Ah, ayolah kita menyusuri arti memiliki sebelum menjawab pertanyaan remeh-temeh diatas. Me-milik-i, kata dasarnya milik, dugaan saya kata itu tepatnya merujuk pada bahasa arab, malik yang artinya penguasa atau raja. Kalau kita memiliki sesuatu artinya kita dapat menguasainya sesuai kehendak kita, kita dapat merajainya, dengan kata lain kita bisa berbuat apa saja dengan apa yang kita miliki itu. Dalam kata memiliki terkandung seseorang menjadi. Yang kita tahu selama ini semuanya hanya lah titipan. Titipan Tuhan, semua akan kembali. Pada pemiliknya.


Kita cenderung mengerti tentang pentingnya sesuatu setelah kita kehilangan. Merasa benar-benar memiliki saat kita kehilangan. Tentu karena itu, kita tak harus menunggu kehilangan untuk menghargai sesuatu itu. Selamat Sore..

Sabtu, 09 Mei 2015

Mawar & Black Box

Mawar

Sejam pun
Tak sepatah kata temani
Seperti sepi
Malam berlucut bintang
Keenakan bersemayam
Dalam sangkar empuk
Jadi penakut
Diantara pecundang
Biar ini diriku
Diluar sudah menunggu
Mawar pagi



Black Box
(afrizal Malna)

Nabi kalau n diganti dengan b, dia menjadi babi. tidak nabi
Kalau b diganti dengan n, dia menjadi nani. Tidak babi. Black box.
Kalau b diganti dengan p, dia menjadi napi, tidak nani.
Kalau n diganti dengan r, dia menjadi rabi. Black box.
Kalau b diganti dengan s, dia menjadi nasi.
Kalau s diganti r, dia menjadi nari. Black box. Tidak nari atau nasi.

Black box, sayangku. Pohon kamboja itu ada 5 meter didepan kita. Black box.
Tapi setiap kata yang kita tanam, jaraknya tak terukur.
Lebih jauh dari musim semi dengan seekor keong yang berjalan di atas lidah kita. Black box:
Nabi, babi, nani, rabi, nasi, nari…

Aku tak tau bagaimana kata-kata menciptakan kembali manusia seperti speaker dalam kobaran api. Black box.


Jumat, 08 Mei 2015

Lionel Andres Messi

Lionel Andres Messi, “manusia dari planet lain” kata pelatih Barcelona, Luis Enrique. Messi telah membuat standar tersendiri bagi ukuran pemain sepakbola tingkat dunia. Melampaui batas-batas imajiner seorang pemain sepakbola. Messi telah menjadi legenda hidup bintang lapangan hijau saat ini. Kemarin ia baru saja jadi pahlawan kemenangan timnya Barcelona atas Bayer Munchen dengan skor telak 3-0. Dalam pertandingan itu, ia menceploskan 2 gol dan 1 assist untuk Neymar di menit-menit akhir.

Jika dibandingkan dengan Christiano Ronaldo, tentu Lionel Messi lebih lengkap. Saya lebih suka Messi karena selain sebagai eksekutor kotak enambelas yang handal dia juga secara statistik produktif memberikan umpan assist. Sedangkan Ronaldo tidak.


Sampai saat ini, saya masih membayangkan bisa bertemu dengan legenda hidup manusia dari planet lain itu.  Semoga, Hhe…

Kamis, 07 Mei 2015

Parkir


Maaf, Parkir Penuh! Sering membaca tulisan itu? Sebagian orang jengkel  melihatnya. Sebagian lagi karena sudah biasa jadi nggak jengkel lagi. Sudah bosan baca tulisan itu. Huftt.. yang menjengkelkan sekali saat masih belum terlalu siang palang parkir itu sudah malang menghalangi motor saya mau masuk tempat parkir – tempat parkir motor di kampus.

Fasilitas parkir sudah di tambah, tapi tetap saja mahasiswa bingung mau parkir dimana kalau sudah menjelang pukul 11 siang. Entah jumlah motornya yang terlalu banyak, parkirnya kkurang luas, banyak mahasiswa lain fakultas yang tidak parkir di fakultasnya, atau parkirnya yang kurang rapi. Selalu saja setiap hari parkir motor di fakultas saya selalu penuh. Nggak sedikit yang jarak tempat kosnya dekat dekngan kampus juga bawa motor. Males jalan kaki mungkin! Ada juga yang membawa motor lebih dari satu, barangkali. Hhe..

Hari ini saya kesulitan cari tempat parkir, padahal sudah jam 1 saya sampai di kampus. Masa’ ya tidak ada mahasiswa yang sudah pulang- yang kuliahnya pagi,- pikir saya.  Parkiran penuh, alhasil saya harus memutar motor, dan syukurlah tempat alternatif terakhir biasa kalau sudah nggak ada tempat parkir lagi masih ada. Saya parkir di tempat parkir mahasiswa pasca sarjana. Hhi…


Selasa, 05 Mei 2015

Ziarah


“Janganlah pergi seakan kamu sedang pergi, jadilah peziarah tanpa melakukan ziarah, jadilah peziarah sekarang juga, kini dan di sini.” -Raymond Pannikar

Pada abad pertengahan, orang Eropa menyebut diri manusia sebagai Homo Viator, yakni orang di perjalanan, pendatang, atau perantau. Namun demikian, Homo Viator tidak berarti sebagai “pelancong” atau turis. Sebab perjalanannya mempunyai tujuan yang arahnya sudah ditentukan oleh si pejalan itu sendiri1. Hidup manusia memang tidak akan lepas dari perjalanan. Selalu bergerak, berpindah tempat dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Salah satu bentuk mobilitas manusia tersebut yakni ziarah.